Sabtu, 17 November 2012

Seeking more rights for migrant workers

KUALA LUMPUR (Nov 15, 2012): Upholding the rights of migrant workers must be made paramount in any legislation or agreement pertaining to their recruitment and placement abroad.
This is in contrast to the current "money talk" between governments and private parties, said Retno Dewi, head of Indonesia Labour Association, a Jakarta-based migrant rights group.

Responding to recent reports of the alleged rape of an Indonesian woman by three policemen in Penang, she said: "We view the current arrangements for recruitment and placement of migrant workers as mostly profit-oriented.

"They are also done to (largely) benefit the state and private agencies," Retno told theSun today when contacted via a social networking site.

Among others, she referred to terms under the Memorandum of Understanding (MoU) on Placement and Recruitment of Domestic Helpers signed between Indonesia and Malaysia in May last year.
The signing was intended to end a two-year freeze imposed by Indonesia on sending its citizens to work as domestic helpers here, following allegations of mistreatment and abuse, as it introduced better "protection" for both the workers and their prospective employers.

Retno, however, argued that the "protection", which includes a mandatory off-day a week and higher wages, was not adequate.
 "The terms were drafted by only taking into consideration monetary factors such as meeting demands from the receiving country, income generated for the state, as well as profit for the agents involved," she claimed.
They include measures such as mandatory training in household chores for domestic helpers, she said.

"As long as there is no legislation which takes into account input from (migrant) workers, the abuse and mistreatment will continue," she said, suggesting that migrant workers be allowed to form or join a union to better protect their interest.

It was reported that only 73 domestic helpers from Indonesia have been legally employed here since the freeze was officially lifted in December, despite pressing demands for their service.
Under the MoU, the hiring fee has been capped at RM4,511, from which RM1,800 will be deducted from the domestic helper's salary, set at RM700 a month, over a period of six months.

"On top of a reduction in placement fees, the association is also urging the (Indonesian) government to limit the role of private agencies as they have been abusing their position to oppress and cheat the workers," said Retno.

 She suggested that both governments consider negotiating a direct deal for recruitment and placement of migrant workers, arguing that it would ensure more accountability and better protection for the workers.


 http://www.thesundaily.my/news/541388











Kamis, 12 April 2012

Indonesia ratify UN Convention 90' last April 12, 2012


Statement of Association of Indonesia Migrant Workers (ATKI)
On the Ratification of UN Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families

We Need Proof, Not Promises Only
Provide Genuine Protection for All IMWs and Our Families

ATKI welcome the move of Indonesian Government in ratifiying the UN Convention 1990 last 12 April 2012. Such initiative was led by the House of Representatives and the Government of Indonesia represented by the Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Manpower and Transmigration and the Ministry of Justice.

The ratification is indeed the fruit of relentless struggle of IMWs overseas and in Indonesia with a full support of our migrant’s advocates and defenders. The migrant’s organizations has been very persistent in demanding the government to provide genuine protection by ratifying the Convention 1990 and today such efforts has finally achieved.

However, we believed for such ratification effective for the benefits, it must be in line with the interest of Indonesian migrant workers (IMW’s) and member of their families who has been demanding for genuine and systemic protection. The whole process of migration, from recruitment, departure, placement and repatriation now should be based on protection and not business oriented.

With the newly adoption of the UN Convention 1990, the government should create a standard employment contract to ensure the basic protection for the rights of migrant workers abroad, the abolition of highly placement fees and special Terminal for migrant workers, protects and ensure the rights of undocumented Indonesian migrant workers, and guarantee freedom of association for IMWs and member of their families.

All these years, the implementation of Law No. 39/2004 on the Placement and Protection of Indonesia Migrant Workers Abroad has robbed the rights and welfare of IMWs. Direct hiring is not allowed while the responsibility of recruitment to protection has been handed to private recruitment agency by the government. As IMWs, we want genuine protection directly by the of the government and not by business-oriented of private sector.

Ratification is only one step toward protection but government should ensure its implemention in the ground and involve migrant’s organizations in all decision pertain IMWs and our families.
ATKI call upon our member’s organizations both overseas and in Indonesia to continue voicing our issues and fight for our demands.

We, the Indonesian migrant workers, urge the government to implement the ratification of UN Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.

Jakarta, 12 April 2012
Retno
 Dewi
Chairman ATKI-Indonesia
0817820952

Perjuangan BMI membuahkan Konvensi


Statement Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia atas Disahkannya Konvensi PBB 1990 tentang Perlindunga Hak-hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

Kami Butuh Bukti, Bukan Janji!
Perlindungan Sejati Bagi Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya

Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia(ATKI) mengapresiasi atas satu langkah maju Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi IX dan Pemerintah Indonesia yang diwakili Kementrian Luar Negeri, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementrian Hukum dan HAM, dengan mengesahkan Konvensi PBB 1990 tentang  Perlindungan Hak-hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

Kami memandang, didalam Pengesahan Konvensi PBB 1990 tentang  Perlindungan Hak-hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya di Indonesia harus sejalan dengan kepentingan untuk memberikan perlindungan sejati bagi buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya secara sistemik dan programatik.
Proses perekrutan, pemberangkatan, penempatan dan pemulangan harus dirombak total dan berasaskan atas orientasi perlindungan sejati bagi BMI dan anggota keluarganya. Dengan disahkannya Konvensi PBB 1990, sudah seharusnya pemerintah membuat kontrak standar yang melindungi hak buruh migrant dan keluarganya, penghapusan biaya penempatan dan membubarkan Terminal Pendataan Kedatangan buruh migran (Terminal Khusus TKI), melindungi dan memberikan hak buruh migran yang tidak berdokumen, serta menjamin kebebasan berserikat bagi BMI dan anggota keluarganya.

Selama ini peraturan didalam UUPPTKILN tahun 2004 telah merampas hak buruh migran untuk melakukan kontrak mandiri dan menyerahkan semua penanganan BMI terhadap PJTKI/Agensi.  Perlindungan sejati yang kami inginkan adalah perlindungan langsung dari pemerintah bukan perlindungan yang diserahkan kepada pihak swasta  yang berorientasi bisnis, sehingga BMI dan Keluarganya harus membayar mahal untuk mendapat perlindungan.

Dengan disahkannya Konvensi PBB 1990 ini ATKI juga mengucapkan selamat dan apresiasi yang setinggi-
tingginya atas perjuangan keras yang dilakukan buruh migran Indonesia untuk mendapatkan perlindungan sejati melalui pendesakan pengesahan Konvensi PBB 1990 oleh Pemerintahan Indonesia sebagai pengirim buruh migran terbesar hari ini dengan berbagai upaya, melalui ajakan dialog dengan pemerintah dan aksi-aksi besar baik yang dilakukan di Luar Negeri maupun di Luar Negeri.

ATKI juga menyerukan kepada seluruh anggota-anggotanya baik di luar negeri maupun di dalam negeri, juga kepada seluruh buruh migran Indonesia dimanapun berada  untuk terus menyuarakan hak-haknya dan kebutuhan perlindungan sejati bagi dirinya dan keluarganya yang telah lama diabaikan oleh pemerintah Indonesia.

Kami, buruh  migran Indonesia menunggu Implementasi Perlindungan Sejati dari disahkannya Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

Jakarta, 12 April 2012
Retno Dewi
Ketua ATKI-Indonesia
0817820952

Sabtu, 24 Maret 2012

800 Buruh Migran Indonesia di Hongkong siap mendemo SBY di Shangrila Hotel Hongkong


ALIANSI CABUT UUPPTKILN NO. 39 &
FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)
Sekretariat: IMWU, Flat C,4/F, Jardines Mansion, Jardines Bazaar 32, Causeway Bay, Hong Kong Tel: 36217395

 SUSILO BAMBANG YUDHOYONO:
PRESIDEN ANTI RAKYAT MISKIN & ANTI BURUH MIGRAN

Tolak kenaikan harga BBM dan turunkan harga kebutuhan pokok!
Tanah untuk rakyat bukan pemodal! Segera akhiri kemiskinan!
Berikan perlindungan sejati bagi Buruh Migran Indonesia diluar negeri!
Terapkan kontrak mandiri! Hapus KTKLN!
Turunkan & Terapkan biaya penempatan!

Kami, Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong, menuntut Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kami diatas. Kami sangat kecewa kepada SBY dan Konsulat Indonesia yang sengaja tidak melibatkan seluruh perwakilan BMI di Hong Kong untuk berdialog dengan presiden dalam kunjungan kenegaraannya ke HK dari tanggal 24-25 Maret 2012 untuk membahas kerjasama ekonomi dan ketenagakerjaan.

Untuk kunjungan kali ini, SBY meminta pengamanan ketat dari polisi HK karena merasa keselamatannya terancam. Secara tidak langsung, SBY menuduh organisasi-organisasi yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah Indonesia sebagai teroris. Bagaimana SBYakan memahami penderitaan dan tuntutan TKI di Hong Kong jika dia takut dan sengaja menghindari kami?

Selama dua kali memimpin, SBY terbukti sebagai rejim anti rakyat dan lebih memilih melayani kepentingan kaum elit dan pemodal asing. Sejak memerintah, SBY telah menerapkan berbagai kebijakan yang memotong subsidi pelayanan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas publik; menaikan BBM sebanyak 3 kali dan harga-harga kebutuhan pokok, merampasi tanah rakyat secara luas, menekan upah buruh agar tetap murah, meningkatkan ekspor TKI keluar negeri hingga 1-2 juta orang per tahun dan tidak segan memukuli, memenjarakan dan membunuh rakyat yang melawan. Kebebasan bersuara dan berserikat perlahan dipasung. Akibatnya, kemiskinan semakin meluas dan tingkat pengangguran kian meningkat. Indonesia yang mendapatkan title sebagai negeri demokratis hakekatnya palsu.

Kini ketika negara-negara kaya mengatakan sedang krisis global termasuk minyak, SBY sebagai pengikut setianya langsung membuat kebijakan untuk menaikan harga BBM sebanyak 30-40% per tanggal 1 April 2012. Ditengah rakyat yang berjuang bertahan hidup dan menuntut kenaikan upah serta penurunan harga kebutuhan pokok.

Dibawah kekuasaan SBY, penderitaan buruh migran Indonesia semakin besar. Dalam program utama 100 hari terpilihnya dia sebagai presiden tidak menyebutkan sama sekali program perlindungan bagi buruh migran dan keluarganya. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, ekspor TKI ditingkatkan  menjadi1-2 juta orang per tahun, peran PPTKIS/agen sebagai calo TKI diperluas dengan merevisi UUPPTKILN No. 39/2004, penerapan mandatori KTKLN bagi TKI yang sudah diluar negeri, dan terakhir akan menutup pengiriman TKI sektor PRT di tahun 2017. SBY tidak berkomitmen untuk menciptakan lapangan kerja degan upah layak di dalam negeri. Pendidikan justru dijadikan alat untuk mentraining calon-calon TKI “professional” siap dikirim ke negara-negara tujuan baru.

Record pemerintah Indonesia dalam hal pelayanan TKI dan WNI diluar negeri juga sangat buruk. TKI hanya diekspor sedangkan hidup matinya diserahkan sepenuhnya kepada kebaikan negara penerima dan urusan pelayanan diserahkan kepada PPTKIS/agen (swastanisasi perlindungan). Untuk ini, setiap TKI dipaksa menyetor gajinya selama berbulan-bulan sampai terjebak dalam perbudakan hutang. 150.000 orang TKI di HK yang telah memberi sumbangan besar bagi negara adalah bukti kongkret dari penindasan pemerintahan SBY terhadap buruh migran.

Kami diekspor dan ditelantarkan diluar negeri. Itulah alasan utama mengapa TKI mengalami berbagai jenis pemerasan mulai dari yang sederhana hingga yang paling serius. Kini dengan melarang untuk kontrak mandiri, pindah agen (System online) dan menunggu visa di China (SE2524) sama artinya pemerintah menjadikan TKI di HK sebagai mangsa PPTKIS/agen seumur hidup. Bukti lain tidak adanya niat melindungi buruh migran terwujud dari penolakan untuk meratifikasi Konvensi PBB bagi perlindungan buruh migran dan Konvensi ILO 189 untuk perlindungan PRT.

Menjadi buruh migran bukan sebuah keinginan tapi keterpaksaan. Tapi pemerintah justru memanfaatkannya untuk memeras kami berlipat ganda dan mencetak buruh migran untuk nrimo dan manut. Jika kami miskin, pengangguran dan berpendidikan rendah, bukankah itu bukti kegagalan pemerintah sendiri? Bukan nasib atau takdir. Rakyat tidak berbahaya bagi SBY dan kroninya, tetapi SBY yang justru berbahaya bagi kelangsungan hidup mayoritas rakyat Indonesia. BMI di HK akan terus berjuang selama SBY tidak memenuhi tuntutan-tuntutan rakyat dan memilih membela kepentingan asing. Kami akan terus menghimpun diri dan bekerja keras untuk menyadarkan, mengorganisasikan dan menggerakan BMI diluar negeri. Lawan penindasan, tuntut kedaulatan. ###

25 Maret 2012

Lari ke Luar Negeri SBY di Demo BMI HK


24 Maret 2012,15.00 waktu Hongkong, sekitar 50 BMI melakukan demonstrasi didepan gedung pemerintahan HK. Dimana Presiden SBY sedang bertemu dengan CE Hongkong Donald Tsang.

Demo hari ini dilakukan oleh BMI HK yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR-HK) bersama aliansi International League of People Struggle (ILPS-HK)  dan International Migrant Alliance (IMA) dengan meneriakan yel-yel penolakan terhadap penaikan harga bahan bakar minyak yang hendak dilakukan oleh pemerintahan SBY 1 April mendatang.

BMI di hongkong juga menegaskan, jika penaikan harga BBM dilakukan oleh SBY menyengsarakan rakyat, maka hal ini menegaskan bahwa SBY adalah rezim anti rakyat dan rezim boneka bagi negara imperialis 
seperti Amerika Serikat.



“ SBY adalah presiden yang anti terhadap buruh migran dan anti terhadap rakyatnya, pasalnya kunjungan hari ini ke HK bukan untuk membicarakan perlindungan bagi warga negaranya yang mayoritas menjadi BMI di HK, dan SBY bahkan tidak mau menemui BMI di HK. Hal ini mempertegas bahwa SBY anti buruh migran”. tegas Eni Lestari sebagai koordinator FPR-HK

Kembali menegaskan dalam orasinya Eni menyampaikan, “atas penaikan harga BBM membawa garis kemiskinan bagi rakyat Indonesia yang tentunya akan dimanfaatkan oleh Pemerintah RI untuk mengimplementasikan skema ekspor tenaga kerja murah yang menjadi target pemerimtah dalam menanggulangi pengangguran dan kemiskinan”.

Aksi yang dilakukan oleh BMI HK adalah lambang dari kekecewaan terhadap pemerintahan SBY yang tidak pernah memberikan perlindungan sejati bagi buruh migran Indonesia dan keluarganya, dan aksi ini akan dilanjutkan pada tanggal 25 Maret 2012 dengan estimasi massa 800 BMI yang didukung oleh Buruh migran dari negara lain dan LSM HK yang mendukung perjuangan BMI.