Minggu, 24 Agustus 2008

Konsulat Indonesia Harus Melindungi BMI dari Pemerasaan Agency


Peraturan baru tentang penghentian pengenaan pajak bagi majikan dari pembantu asing yang dikeluarkan pemerintah Hong Kong dan berlaku efektif sejak tanggal 1 Agustus 2008, berdampak pada maraknya PHK atas buruh migran, tidak terkecuali buruh migran Indonesia (BMI).

Namun atas desakan keras buruh migran, pemerintah Hong Kong memberikan beberapa pengecualian hukum untuk “mempermudah” proses pembaharuan kontrak, dengan tidak mewajibkan buruh migran meninggalkan Hong Kong selama proses pengajuan izin kerja, dan percepatan proses dokumen izin kerja.

Walaupun upaya pemerintah Hong Kong ini tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan komunias buruh migran di Hong Kong, namun setidaknya keputusan tentang pengecualian atas beberapa hukum yang berlaku, menunjukan pemerintah Hong Kong tidak bisa mengelak dari tuntutsn keras komunitas buruh migran.

Hal berbeda ditunjukan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di Hong Kong, walaupun sekitar 120.000 BMI di Hong Kong terancam mengalami PHK, namun Konsulat Indonesia tidak melakukan tindakan apapun untuk merespon hal tersebut. Upaya pemerintah Hong Kong untuk mempermudah dan mempercepat pengurusan izin kerja buruh migran selama seluruh dokumen lengkap dan telah di sahkan konsulat masing-masing negara, tidak dibarengi dengan kemudahaan proses pengesahan dokumen kerja di Konsulat.

Eni Lestari, Koordinator PILAR mengatakan didepan massa aksi PILAR yang di gelar didepan konsulat RI di Hong Kong, minggu 24/08/2008 “Konsulat Indonesia yang dipimpin Ferry Adamhar, tidak sedikitpun melakukan upaya untuk melindungi 120.000 warganya yang menjadi BMI di Hong Kong yang terancam PHK atas peraturan baru ini”.

Eni menambahkan “Dengan mewajibkan pengurusan pengesahan dokumen kerja melalui agency, KJRI sama saja menempatkan BMI kedalam mulut buaya, dan sebaliknya memberikan kesempatan bagi agency untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari BMI”.

Setelah PILAR mengadakan protes minggu sebelumnya, akhirnya KJRI memanggil Agency, dan meminta seluruh Agency untuk tidak memungut biaya atas pengurusan pembaharuan kontrak agi BMI yang mengalami dampak dari peraturan pemerintah Hong Kong tentang pajak.

“Pertemuan itu bagi kita adalah drama, konsulat seakan-seakan menjadi pihak yang melindungi BMI dan sangat memperhatikan BMI, dengan meminta agency untuk tidak memungut biaya terhadap BMI” ujar Eni

Eni mengungkapkan “Semua orang tahu, Agency adalah kumpulan orang-orang yang licik, penipu, rakus dan akan menggunakan cara apapun untuk memeras BMI, bagaimana KJRI bisa yakin BMI akan terlindungi dari pemerasan bila hanya bermodalkan pertemuan dan “menasihati” Agency agar tidak mengambil uang BMI”

“Saat ini, PILAR telah mendapatkan pengaduan puluhan BMI yang tetap diwajibkan membayar biaya pengurusan dokumen oleh agency, yang jumlahnya bervariasi dari HK$ 300 sampai enam bulan potongan gaji” ungkap Eni

“KJRI harus bertanggung jawab terhadap kasus ini, dan segera melakukan tidakan tegas terhadap Agency yang terus menerus memeras BMI” tegas Eni.#

Rabu, 20 Agustus 2008

Berebut untung dolar TKI

WASPADA ONLINE

JAKARTA - Dana Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tak hanya membuat ngiler preman di Bandara Soekarno-Hatta. Lembaga keuangan hingga operator seluler melihat potensi keuntungan dari derasnya dana TKI yang masuk ke tanah Air.

Lihat saja, aksi PT Bank Syariah Mandiri (BSM). Menggandeng Merchantrade Asia Sdn Bhd (MTA), Malaysia, mereka meluncurkan program transfer DUIT (dana untuk Indonesia tercinta) untuk melayani pengiriman uang TKI.

"Pada tahap awal, layanan ini diluncurkan di Malaysia karena pasar TKI yang terbesar berada di negara itu. Nantinya juga akan dibuka layanan di negara-negara lainnya," ungkap keterangan tertulis BSM, di Jakarta, Selasa (19/8). Sejumlah keunggulan diusung: aman, pengiriman secara elektronik, cepat, mudah, dan murah.

MTA adalah perusahaan Malaysia yang sejak 2006 telah memperoleh izin bank sentral setempat, Bank Negara Malaysia (BNM) untuk menyelenggarakan jasa remittance (pengiriman uang) ke manca negara.

BSM tak sendiri. PT Excelcomindo Pratama Tbk, operator seluler XL, bekerja sama dengan BNI, baru saja meluncurkan layanan Transfer Instant. Layanan ini memungkinkan para TKI untuk mentransfer uang yang mereka miliki langsung ke kerabat mereka yang dikirimkan via ponsel berkartu XL.

Untuk sementara, layanan Transfer Instant baru bisa dinikmati oleh TKI yang bekerja di Hong Kong. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2 TKI), jumlah TKI di Hong Kong sekitar 124.000 orang. Layanan serupa nantinya akan diperlebar ke negara-negara Timur Tengah dan kawasan Asia seperti Malaysia.

Sebelumnya, layanan mobile wallet T-Cash, Telkomsel sukses membantu para TKI di Hong Kong untuk melakukan transfer antarnegara. Ke depan, jasa-jasa seperti ini diperkirakan bisa menggantikan peran perbankan dalam hal transfer uang.

Selama ini, transfer dana TKI ke Tanah Air masih ribet. Seorang TKI di Qatar yang hendak mengirim uang ke Wonogiri, misalnya, harus memutar uangnya kemana-mana. Dari bank di Qatar, uang dikirim dulu ke bank korespondennya di New York baru. Setelah itu, kemudian diteruskan ke bank di Tanah Air, misalnya Bank Mandiri.

Cukup? Belum! Dana itu harus diteruskan ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menyampaikan kirimannya ke Wonogiri. Barulah keluarga TKI itu menerima panggilan dari BRI setempat untuk mengambil uangnya.

Lalu bagaimana dengan transfer lewat ponsel? Tentu saja lebih mudah. Si TKI tinggal mengontak agen perusahaan telepon genggam setempat yang sudah punya hubungan dengan Telkomsel. Uang dia serahkan dan bukti tanda terima atau notifikasi melalui SMS kemudian masuk di HP si TKI.

Sementara penerimanya di Tanah Air tinggal datang ke kantor operator telekomunikasi terdekat setelah sebelumnya mendapat telepon dari TKI. Customer Service pun mengecek di layar monitornya, maka uang bisa langsung diserahkan.

Potensi dana dari TKI ini luar biasa besar. Menurut data BNP2 TKI, di luar negeri saat ini terdapat sekitar 6,3 juta TKI. Sebanyak 4,3 juta TKI di antaranya terdaftar secara legal dan sisanya diperkirakan tidak terdaftar.

Dalam kurun waktu setahun, Indonesia diperkirakan mendapatkan pendapatan dari TKI sekira Rp10-11 triliun. Sebuah angka yang luar biasa besar dan menjanjikan peluang bisnis prospektif.
(iwa/ini/Dindien)

TKI Dideportasi Malaysia Mereka Masih Mencari Kemerdekaan

Kisah dari Forum Peduli Buruh Migran

JAKARTA – Nur Cahyani hampir terjatuh saat berjalan selangkah demi selangkah sambil menyeret tiang infus di Rumah Sakit St Carolus, Jakarta. Plastik berisi cairan infus yang tersambung di lengannya pun terguncang-guncang.

Kaki kirinya tak bisa lagi menjepit tali sandal jepit. Kalau dipaksa, tetap saja tak terpasang dengan benar, malah bisa-bisa membuatnya jatuh terjerembab. Kaki kiri itu sudah mati rasa, jari-jemarinya tak bisa lagi digerakkan. “Ini karena ada besi (pen-red) di dalam sini,” katanya sambil menunjukkan betis dan lututnya.

Beberapa bekas jahitan sepanjang 5 centimeter terlihat di kaki kiri dan kanannya. Gadis berumur 17 tahun ini mengakui luka itu akibat dipukuli dengan pecahan botol oleh majikan perempuannya, ketika masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Di dahinya pun ada dua bekas luka jahitan, begitu pula di kepala bagian belakang.

Nur bekerja di Malaysia selama 2,5 tahun di rumah Ratna Sari. Ia menjelaskan pada mulanya Ratna Sari bersikap baik, tetapi setelah beberapa kali Nur menolak permintaannya untuk membelikan narkoba karena takut ditangkap polisi, Nur dianiaya.

Mulai dari disiram air, diinjak-injak perutnya, dirotan punggungnya, hingga kaki dipukul dengan botol kaca yang dipecahkan.

Akibatnya, kaki kiri dan tangan kanannya patah. Kalau bersalaman dengannya, tangan kanannya akan meremas tangan kita dengan sangat keras. Ini karena telapak tangannya sudah mati rasa.

Nur hanyalah satu di antara 365 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia dengan kapal dari Johor lewat Tanjung Pinang. Di atas kapal itulah, kondisi fisiknya sangat lemah sehingga harus ditandu untuk dibawa ke klinik kapal yang terletak di dek atas.

Ternyata di kapal itu tak ada satu pun yang mengenal Nur. Yang mereka tahu hanyalah semua penumpang di atas kapal itu dipulangkan secara paksa dari penjara Malaysia.

Menurut Nur, selama di penjara ia dijemur di bawah terik matahari selama berhari-hari tanpa ada perawatan medis sama sekali.

Kapal yang membawa para TKI itu berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (12/8) lalu. Dan siang itu, Sabtu (16/8), Nur sudah dipindahkan ke Ruang Pius, karena saat SH menjenguknya sehari sebelumnya, Jumat (15/8), gadis berkulit legam yang dirawat di Ruang Fransiskus itu meronta-ronta.

Histerianya baru mereda setelah muntah darah. Tetapi sesaat kemudian, ia kembali berteriak, “Saya mau bunuh diri! Tak ada gunanya saya hidup, karena semua orang jahat, tipu-tipu!”

Bahwa kini ia merasa lebih tenang, berkat kepedulian lembaga Peduli Buruh Migran, yang bekerja sama dengan beberapa pastor termasuk Romo Ismartono, SJ; Romo Benny Susetyo, Pr; Romo Sumaryo, dan Imam B Prasodjo dari Yayasan Nurani Dunia. Mereka membantu biaya rumah sakit, transportasi, ambulans, hingga makan untuk dua orang TKI yang menjaga Nur.

Mereka pun mendatangkan kakak Nur dari Jember untuk kemudian memulangkan kembali ke rumah orangtua mereka di Desa Taman Glugo, Kelurahan Badian, Kecamatan Bangsal Sari, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Nur adalah bungsu dari empat bersaudara.

“Sejak kecil saya sudah menderita karena orangtua saya miskin.. Sekarang saya malu pulang tidak membawa apa-apa. Tak ada gaji, pakaian pun apa adanya,” kata Nur dengan mata menerawang.

Solidaritas Sesama TKI

Selama dirawat di Ruang Fransiskus, Nur ditemani dua pemuda yang ternyata juga Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB); Jauhari (35) dan Suhermanto (28). Dua pemuda ini tergerak membawa Nur ke klinik kapal dan menungguinya selama 24 jam di RS St Carolus.

“Saya tidak kenal Nur. Cuma melihat kondisinya seperti ini, enggak tegalah saya,” kata Suhermanto.

Kepada SH, Suhermanto mengaku ingin cepat pulang kampung di Lamongan, Jawa Timur. Sejak bekerja di Malaysia pada November 2002 ia belum pernah pulang. Meski kalau pulang pun, ia khawatir orangtuanya gundah gulana, sebab hanya cerita sedih yang dibawanya, yaitu lima bulan dipenjara di Malaysia karena masa berlaku paspornya sudah habis.

“Bagaimana sambung (memperpanjang) paspor, karena biayanya 2.500 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 7 juta,” katanya.

Pertama kali bekerja sebagai tukang bangunan di Kuala Lumpur, gajinya 30 ringgit per hari, tetapi dipotong working permit (izin kerja) 7 ringgit per hari. “Bayangan saya, gajinya Rp 1,5 juta. Di Indonesia, mana dapat? Tetapi dasar orang bodoh, saya tak berpikir kalau harus keluar ongkos untuk makan dan bayar permit. Di penginapan juga tak ada air untuk mandi. Untuk berak pun harus masuk ke hutan,” katanya. Untuk pergi ke Malaysia, orang tuanya padahal menjual sapi Rp 3 juta dan kredit di bank dengan jaminan rumah senilai Rp 4,5 juta.

Suhermanto bisa mengungkapkan banyak fakta sedih yang dialami para TKI di Malaysia. Ada yang diperkosa di dalam penjara, ada yang dirampas uang, handphone hingga sepatunya. Semua ini dilakukan justru oleh orang-orang berseragam resmi. Namun setelah pulang ke negeri sendiri, Nur Cahyani, Suhermanto dan Jauhari mempertanyakan dimana kemerdekaannya untuk bekerja dan hidup secara layak.

Lalu, bagaimana sikap Pemerintah Indonesia? Pemerintah memang sudah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Pemulangan TKIB dan Keluarganya dari Malaysia. “Namun sampai saat ini peran Satgas itu masih simpang-siur dan belum ada koordinasi yang tepat,” kata Lili, Koordinator Peduli Buruh Migran di Jakarta.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Moh Jumhur Hidayat, yang dikonfirmasi SH, Selasa (19/8), menegaskan bahwa Nur Cahyani merupakan korban perdagangan manusia atau human trafficking.

Dari penelurusannya, Nur berangkat ke Malaysia lewat jalur tidak resmi dengan memanfaatkan paspor kunjungan untuk selanjutnya mendapat visa kerja dari pemerintah setempat.

"Karena statusnya korban human trafficking, domain tanggung jawabnya ada di Departemen Sosial untuk membantu pekerja migran bermasalah," lanjutnya. “Khusus untuk Malaysia, baru-baru ini saya mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah setempat agar tidak memproses permohonan visa kerja dari WNI yang mengantongi paspor kunjungan," katanya. (mohamad ridwan)

Migrant Group Remembers OFW Victims of Violence, Launch Campaign Against Global Forum on Migration and Development

BY BULATLAT (www.bulatlat.com)
Aug. 17, 2008 - 4:01 p.m.

Migrante International held a wreath laying and press conference this morning at the Bantayog ng mga Bayani, near the corner of EDSA and Quezon Ave., to show the true face of migrant Filipinos and to pay tribute to overseas Filipino workers (OFW) who have died under questionable circumstances. Photos of OFWs who became victims of violence and abuse served as backdrop to the press conference.

Joining Connie Bragas-Regalado, chairperson of Migrante, in the press conference were Gabriela Women's Party Rep. Luzviminda Ilagan, Rita Baua of Bagong Alyansang Makabayan, Sonny Africa of IBON Foundation, and Lilibeth Garcia, sister of Eugenia Baja. Baja was an OFW who worked as a domestic helper in the Kingdom of Saudi Arabia in May 2007 but mysteriously died in February 2008. The Saudi police and the Philippine Department of Foreign Affairs concluded that Baja's death was a suicide even as her body bore signs of beatings and of being starved for more than 20 days.

Rep. Ilagan deplored that fact that the policies of the Arroyo government as well as that of receiving countries do not protect the rights of migrant workers.

"Ang ating gobyerno ay hindi nireresolba ang mga problema ng ating mga migranteng manggagawa," (Our government does not resolve the problems confronting Filipino migrant workers.) Rep. Ilagan said. She criticized the Arroyo government for its failure to generate enough jobs in the country and for aiming, instead, to increase OFW deployments to two million a year.

"Tutulan natin ang labor export policy ng gobyerno," (Let us oppose the labor export policy of the government.) Rep. Ilagan said. She also took note of the sacrifices that families of OFWs go through and the social costs of labor migration.

Lilibet Garcia sister of Eugenia Baja said, "Sinabi po ninyo na ang mga OFW ay bagong bayani subalit sa pagkamatay ng aking kapatid nawala ang kanyang pangarap. (The government says that OFWs are modern-day heroes. But with the death of my sister, her dream of giving a better life to the family was also shattered.) My sister left weighing 47 kilos but when her body was returned to us she weighed only 32 kilos. Nananawagan po ako sa Arroyo government na imbestigahan ang pagkamatay ng aking kapatid." (We are calling on the Arroyo government to investigate the death of my sister.)

Connie Bargas-Regalado read the statement of the International Migrants' Alliance, an alliance of organizations of migrants and refugees across the globe, criticizing the Global Forum on Migration and Development. The Global Forum on Migration and Development is an "informal, voluntary, and state-led global forum", under the auspices of the United Nations, that tackles "how good migration governance can contribute to development and how development policies can impact on migration." The first meeting of the forum was held from July 9-11, 2007 in Brussels, Belgium.

Parts of the statement of the alliance read," The Global Forum on Migration and Development is not made for its supposed main stakeholders-the migrants themselves. Violations of rights of migrants are rampant. Attacks on the rights of migrants, immigrants, refugees and other displaced people are happening everywhere, everyday. Ironically, the violators of the rights of migrants, through grave anti migrant policies, are the same countries in the Global Forum on Migration and Development."

"The presence of the International Migrants' Alliance in all global regions will pose the most formidable challenge to the Global Forum on Migration and Development. We, being the grassroots migrants who are at the receiving end of numerous anti-migrant attacks, are the living proofs of the Global Forum on Migration and Development's anti migrant agenda and direction."

Regalado added, "The campaign against the Global Forum on Migration and Development will culminate in an International Assembly of Migrants and Refugees from October 28-30, 2008. The theme of the assembly would be 'Migrants' Challenges to the Global Forum on Migration and Development: End poverty, ensure jobs at home, stop forced migration, uphold and protect the rights of migrants and refugees.'"

"The International Assembly of Migrants and Refugees will be the genuine assembly for migrants where real and concrete issues shall be discussed. The International Assembly for Migrants and Refugees will speak for the grassroots migrants," Regalado said.

"GMA said I care, Is this the care she was talking about:
I care, with the migrants having 29 victims in death row;
I care, with the migrants having more than ten thousand stranded OFWs;
I care, with the migrants having 23 mysterious deaths;
I care, with the migrants having so many charges from their remittances," Regalado concluded. Bulatlat

Sabtu, 09 Agustus 2008

Undangan Aksi

pada tanggal 10 Juli 2008, Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BINAPENTA) mengeluarkan surat keputusan tentan besaran jumlah biaya penempatan yang harus dibayar oleh buruh migran indonesia (BMI) tujuan Hong Kong,surat penempatan ini tentu mendapatkan reaksi dari BMI, selain sesuai dengan undang-undang bahwa tentang biaya penempatan harus diatur melalui keputusan menteri, dirjen binapenta juga menetapkan biaya yang sangat mahal yang harus di bayar BMIm kepada PJTKI yaitu sebesar Rp. 15.550.000 plus US$15, jauh dari tuntutan BMI yang menuntut untuk biaya penempatan hanya sebesar satu bulan gaji atau sebesar HK$ 3580 (Rp 3.900.000).

Selain itu, pemerintah Hong baru saja menerapkan kebijakan baru tentang penghapusan sementara pajak $400 bagi majikan yang memperkerjakan buruh migran, penghapusan pajak ini hanya berlaku bagi visa pekerja yang dikeluarkan setelah 1 Agustus 2008.namun akibat tekanan buruh migran di Hong Kong, kebijakan ini juga berlaku bagi buruh migran yang sudah memiliki visa kerja degan catatan mereka harus memperbaharui visa kerjanya dengan syarat yang dipermudah, seperti tidak perlu keluar Hong Kong, dan bila dokumen lengkap, visa dapat diberikan pada hari yang sama ketika pengajuan.

Namun, kelonggaran kebijakan yang diberikan pemerintah hong kong tidak membuat pemerintah Indonesia memberikan perlindungan bagi warganya, malah KJRI mempersulit persyaratan untuk memperbaharui visa kerja BMI, akibatnya BMI terpaksa diperas oleh agen.

Untuk itu. Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR), aliansi 23 organisasi BMI di Hong Kong, akan menggelar aksi yang akan diadakan pada:

Waktu : Minggu, 10 Agustus 2008
Tempat : Victoria Park - kantor KJRI HKjumlah massa : 200 - 300 orang
penyelegggara : persatuan BMI tolak Ovecharging (PILAR)

Kontak PersonATKI-HK Assosiasi Tenaga Kerja Indonesia Hong Kong

c/o: APMM, Jordan road no. 2, Kowloon, Hong Kong SAR phone: +852 23147316 Fax: +852 27354559 blog: atkihongkong.blogspot.com

Sedikit Pengalaman Bekerja di Korea

Muhamad Lisin
Mantan BMI Korea Selatan

Korea Selatan adalah salah satu negara tujuan pengiriman buruh migran Indonesia. Selain gaji rata-rata yang terbilang tinggi, minat bekerja di Korea juga disebabkan karena negara tersebut menyediakan lapangan kerja yang cukup luas bagi pekerja pria (laki-laki).

Hal lain yang menggiurkan adalah jenis pekerjaan di Korea Selatan umumnya di sector industry manufaktur, tidak seperti pada umumnya negara penempatan yang cenderung lebih banyak menerima tenaga kerja di sektor rumah tangga. Hanya dengan bekal ijazah setingkat SMP dan usia di antara 18-40 tahun, siapa pun bisa mengajukan permohonan untuk bekerja di Korea.
Pada saat ini, masalah penempatan BMI di Korea Selatan telah diatur dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia yang diwakili BNP2TKI dan Pemerintah Korea Selatan.

Permasalahan

Terdapat beberapa permasalahan umum yang kerap diderita BMI Korea. Pertama, masalah keterampilan berbahasa Korea. Untuk bekerja di Korea, setiap calon buruh migrant diharuskan mengikuti tes kemampuan berbahasa Korea, atau biasa disebut KLPT. Tes ini dilaksanakan dua kali dalam setiap tahun. Tes ini merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi sebelum calon buruh migrant mengajukan permohonan bekerja di Korea.

Tercatat, per Desember 2007, 23 ribu orang mendaftarkan diri untuk mengikuti tes kemampuan berbahasa Korea (KLPT). Sebelumnya, tes KLPT pada Bulan Maret 2007 juga diikuti oleh peserta yang tidak kalah besar jumlahnya. Tes ini hampir serupa dengan Toefl yang mengacu pada standar tes yang disusun oleh Pemerintah Korea Selatan. Tes tersebut terdiri dari dua aspek penilaian, yakni mendengar dan menulis dalam Bahasa Korea. Standar nilai kelulusannya adalah 120. Biaya yang diperlukan untuk tes ini sebesar Rp 285 ribu.

Untuk mengikuti tes, biasanya calon BMI mengikuti pelatihan keterampilan berbahasa Korea. Pelatihan ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Bahasa Korea yang umumnya didirikan oleh unsur-unsur dari PJTKI. Biaya kursus yang harus dikeluarkan sebesar Rp 4 juta untuk satu bulan pelatihan secara intensif. Namun, banyak calon BMI yang tidak lulus, meski sudah mengikuti pelatihan.

Untuk memudahkan kelulusan, kadang calon BMI menggunakan jasa dari para “jokie”. Hal ini mirip dengan kasus yang dulu kerap ditemukan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri. Biaya yang harus dikeluarkan bergantung pada hasil negosiasi antara calon BMI dengan jokie-jokie tersebut. Standar minimum biayanya adalah Rp 1 juta atau lebih.

Kedua, masalah tingginya biaya penempatan. Sebelum adanya MoU “G to G” antara Indonesia dengan Korea, penempatan BMI di Korea dilakukan oleh PJTKI. Biaya yang dikenakan kepada setiap BMI yang hendak bekerja di negeri tersebut berkisar antara Rp 35-40 juta dan harus dibayar dimuka. Uang sebesar itu diperuntukkan untuk beberapa hal seperti tiket pesawat, pengurusan dokumen paspor, visa kerja, dan uang jaminan yang dulu besarnya sekitar Rp 10 juta. Uang jaminan adalah dana kolateral yang bisa hangus apabila seorang BMI kabur atau tidak menyelesaikan kontrak.

Selain itu, terdapat pula biaya tambahan melalui sistem potongan gaji selama enam bulan. Berdasarkan pengalaman penulis ketika bekerja di Korea pada tahun 2002, upah bulanan yang diterima sekitar 420 won. Upah yang diterima itu dipotong hampir separuh untuk management fee, asuransi, dan potongan biaya pemberangkatan. Kecuali lembur, umumnya BMI yang bekerja di Korea hampir tidak mendapatkan pendapatan sama sekali dari upah yang diterimanya.

Pasca MoU “G to G”, biaya penempatan BMI secara resmi adalah Rp 5,5 juta. Biaya ini disetorkan ke BNP2TKI setelah seorang BMI mendapatkan surat kontrak kerja. Biaya ini belum termasuk biaya pengurusan lain, seperti dokumen paspor dan lain-lain. Dalam praktiknya, meski sudah dikurangi, calon BMI yang hendak berangkat ke Korea Selatan umumnya telah menghabiskan dana sebesar Rp 15-25 juta untuk berbagai keperluan.

Selain itu, terkadang meski telah mendapatkan surat kontrak kerja, seorang BMI tidak bisa bekerja ke Korea karena surat tersebut diberikan atau diperjual-belikan ke orang lain. Hal ini masih kerap terjadi meski pengumuman tersebut tertera dalam situs resmi BNP2TKI. Hal ini biasanya disebabkan karena tidak semua calon BMI ke Korea memiliki akses terhadap sarana internet.

Masalah ketiga, adalah pelatihan kerja. Umumnya calon BMI yang hendak bekerja di Korea akan mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh balai-balai latihan kerja. Selain keterampilan bahasa, dalam materi-materi pelatihan yang diberikan juga terdapat materi pelatihan disiplin ala militer seperti materi fisik, mental, disiplin (FMD), pelatihan baris-berbaris (PBB), lari, dan pelatihan-pelatihan fisik lainnya.

Disiplin ala militer juga dikenakan bila seorang calon BMI melakukan suatu kesalahan. Situasi ini menyebabkan suasana BLK menjadi tegang dan tidak nyaman. Banyak calon BMI yang mengundurkan diri, kabur, bahkan depresi pasca mengikuti pelatihan tersebut. Selain itu, untuk menghindari sanksi yang berat, terkadang calon BMI terpaksa menyuap instruktur agar dibebaskan dari sanksi.

Hampir tidak ada pelatihan yang terkait dengan keterampilan teknis untuk bekerja di Korea. Demikian pula ketika di Korea, pelatihan teknis untuk mengoperasionalkan mesin-mesin tidak dilakukan. Setiap calon BMI yang baru datang ke Korea diberi kesempatan istirahat selama sehari dan esoknya harus sudah masuk kerja di pabrik. Untuk mengatasi kendala bahasa supervisor-supervisor Korea dan para BMI kadang berkomunikasi dengan bahasa “tarzan” alias bahasa isyarat yang belum tentu benar.

Tidak adanya pembekalan kerja yang relevan menyebabkan kerap terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi antara para supervisor Korea dengan BMI. Bila hal itu terjadi, para supervisor Korea kerap menghardik dan melontarkan kata-kata kasar kepada para BMI. Bila mau “selamat”, para BMI dituntut untuk segera menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan kerja di Korea. “Sekia”, “Sipaloma”, “Pabuya” atau “goblok” adalah kata-kata yang sering kita terima di korea. Kata-kata itu adalah kata-kata jorok yang di gunakan oleh orang korea apabila dia marah.

Para BMI di Korea sebenarnya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam serikat pekerja. Akan tetapi, mengingat statusnya bukan sebagai “buruh merdeka” sebagaimana buruh-buruh industri di Korea, akibat terikat pada kontrak kerja dengan PJTKI dan agen penempatan BMI di Korea, kebebasan para BMI untuk menentukan sikap dalam serikat-serikat buruh, khususnya dalam hal pembelaan dan penanganan kasus, masih kerap menghadapi kendala.

Selain serikat pekerja, para BMI juga kerap menghimpun diri dalam organisasi-organisasi lain, seperti organisasi keagamaan, klub-klub sepakbola, dan lain-lain. Pertemuan antar BMI juga kerap dilaksanakan pada momentum-momentum tertentu, seperti momentum “agustusan” dan lain-lain. Organisasi-organisasi atau perkumpulan inilah yang kerap dimanfaatkan BMI untuk saling bersilaturahmi dan mengatasi kerinduan pada tanah air.

Terakhir, tekanan kerja yang sangat tinggi menyebabkan tidak sedikit BMI yang mengalami depresi atau bahkan memilih kabur dari tempat kerja Korea. Perbedaan budaya, khususnya bahasa juga menyebabkan BMI kerap terisolasi hanya tinggal di tempat-tempat atau mess yang disediakan pabrik.

Meski demikian, sebenarnya tidak ada pembatasan ruang gerak BMI. Para BMI bebas berjalan-jalan ke mana pun bila sedang libur atau tidak ada pekerjaan. Hal ini kadang dimanfaatkan oleh sebagian BMI untuk menghambur-hamburkan uang untuk karaoke, norebang, berjudi. Tindakan-tindakan tersebut dipahami sebagai kompensasi atas tekanan kerja yang cukup berat.
Aroma kebebasan yang lebih luas di Korea, kerap menggoda para BMI untuk ikut dalam arus kebebasan yang terkadang justru “kebablasan”. Akibatnya, pendapatan yang diperoleh justru tidak sebanding dengan beban dan pengeluaran yang sudah dihabiskan.

Sebagian BMI yang memilih kabur suatu tempat kerja, kadang masih dapat bekerja kembali di tempat-tempat kerja yang cenderung mempekerjakan BMI secara illegal. Sebagian lagi tinggal di shelter (penampungan-penampungan) yang didirikan para misionaris yang mengurusi berbagai keperluannya, termasuk pemulangan ke Indonesia.

Penutup

Dibalik gaji yang tinggi dan kesempatan kerja yang luas di Korea Selatan, para BMI yang bekerja di sana sebenarnya mengalami permasalahan yang hampir sama dengan BMI-BMI lain di Indonesia. Selain tidak mendapatkan pembekalan pelatihan yang profesional, para BMI Korea juga mengalami masalah akibat tingginya beban biaya penempatan, dan rendahnya jaminan perlindungan.

1. Rekomendasi ke Pemerintah.Kepada pemerintah diharapkan akses informasi yang baik dan jelas dapat di akses oleh calon BMI sampai ke daerah asal. Memberi pengawasan dan tindakan terhadap oknum pemerintah yang sering mengambil keuntunagan terhadap calon BMI diantaranya biaya dokumen yang tinggi tidak sesuai aturan, menjual belikan Visa Kerja. Akses kridit yang lunak kepada calon BMI. Kepastian perlindungan hokum yang jelas terhadap BMI maupun calon BMI dan keluarga. Memberantas calo-calo yang memeras calon BMI.

2. Rekomendasi ke calon BMI Kepada para calon BMI diharapkan waspada terhadap siapapun yang meminta uang dengan memberikan janji untuk dapat segera bisa memberangkatkan calon BMI ke Negeri tujuan BMI. Uruslah segala dokumen sendiri tanpa melalui calo. Apabila terjadi proses-proses yang ada unsure pemerasan segera laporkan kepada penegak hukum. Sering berkomunikasi dengan orang-orang atau lembaga yang perduli terhadap nasib BMI.

3. Rekomendasi ke BMI dengan kondisi ditanah air yang multi krisis ini dengan adanya temen BMI diberbagai Negara sedikit banyak telah member angin segar terhadap Negara dan terutama Keluarga untuk itu gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan perencanaan kedepan yang baik dan jelas sehingga akan mendapatkan kesuksesan. Dan di negeri orang bukanlah tujuan akir hidup kita, di desa di negeri kita telah menunggu sentuhan tangan anda untuk menjadi desa yang indah yang berdaya, mandiri.

BURUH AIR MATA DAN PENDERITAAN

Persetan dengan semuanya….
Aku di sini gak menunggu..
Tapi aku berlari kencang..
Menjadi topan, badai dan halilintar..

Jengah dengan kepastian
Omong kosong..tong sampah ..dan lain-lain
Semua harus segara..
Basi dengan perdebatan
Siapa dan untuk siapa?

Ku adalah kebencianmu
Ku suarakan dari lorong kecil hatiku
Sampai ke istana perampas kemerdekaan…

Entah itu kamu, feodalis, imperialis dll..
Yah, sedikit untuk buruh air mata
Di setiap gedung-gedung penjajah
Yah, sedikit untuk buruh penderitaan..
Di seluruh Negara…

Seluruhnya bersatu, merdeka dan berdaulat..

Fendi.
Jak,09 agustus 2008

Fen……

(Tragedi bangsa kelaparan)

Malam itu semua kedinginan sempurna telah kamu miliki
Temaram bulanpun hanya sesaat ternikmati
Tangan-tanganmu tersilang,
Hanya kata samar ku dengar…”Aku lapar”III
Sekejap mata tiba-tiba semua telah terjadi
Kamu menjerit….
Kamu menggeliat membuat tarian kesakitan….
Dan aku termangu…..
Aku bingung pintu rumah mana yang akan terketuk
Namun terdiam semua suaramu
Kamu telah kenyang dengan lapar bangsamu…

Effendi
Jakarta,04 Mei 2008

Rabu, 06 Agustus 2008

ATKI Jakarta: Cabut SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008!

ATKI Jakarta: Cabut SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008!

[ATKI-Jakarta]. “SK Dirjen Binapenta No 186 tahun 2008 yang mengatur biaya penempatan BMI di Hongkong adalah keputusan yang Ilegal!” demikian tegas Koordinator Biro Informasi Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Jakarta, Retno P. Dewi.

Pernyataan ini disampaikan hari ini pada saat melakukan aksi bersama menuntut pencabutan SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008 di halaman Kantor Depnakertrans Jalan Gatot Subroto Jakarta dan akan dilanjutkan ke depan Kantor BNP2TKI, Jalan MT. Haryono, Cawang, Jakarta.

Dalam aksi tersebut, selain menuntut pencabutan SK, ATKI-Jakarta, Migrantcare, LBH Iwork, FMN, dan organ-organ lainnya juga menuntut penghentian deportasi dan legalisasi bagi seluruh BMI tidak berdokumen di Malaysia, pembubaran terminal IV, pencabutan UU No. 39 tentang PPTKILN, dan Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya.


SK Dirjen Binapenta, Ilegal!

“SK tersebut bertentangan dengan UU No. 39 tahun 2004 sekaligus Permenakertrans No tahun 2007 yang menyatakan bahwa instansi yang berwenang mengeluarkan kebijakan itu adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi!” lanjut Retno.

SK yang dimaksud adalah Surat Keputusan Direktorat Jenderal Binapenta No. 186 Tahun 2008 tentang komponen dan besarnya biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/ Jompo untuk tujuan Hongkong. Surat ini berisi jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon BMI/BMI yang hendak berangkat ke Hong Kong, sebesar Rp 15.550.000 plus USD 15.

Berdasarkan UU No 39 tahun 2004 tentang PPTKILN pasal 76 ayat (2) dan Permenakertrans No 18 tahun 2007, kewenangan penentuan biaya penempatan sesungguhnya berada di tangan menteri dan bukan dirjen. Sehingga, lahirnya kebijakan tentang biaya penempatan ini sungguh aneh karena tidak sesuai dengan aturan yang ada di atasnya.

Menurut Retno, adanya SK tersebut menunjukkan carut-marutnya penanganan perlindungan BMI oleh pemerintah RI. Sebagaimana diketahui publik, sebagian besar masalah BMI bermula dari ketidakbecusan pemerintah mengelola penempatan dan perlindungan BMI. Selama ini, BMI hanya dilihat sebagai barang-dagangan yang kerap diperlakukan tidak manusiawi. Kontribusi besar bagi pemasukkan Negara tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai dari Negara.

Terlebih ketika terjadi konflik terbuka antara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno dengan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Konflik diantara keduanya sudah diketahui secara umum dan menunjukkan sikap kekanak-kanakan diantara dua pejabat negara yang berada dibawah Presiden. Hingga saat ini, tidak ada mediasi dari Presiden untuk adanya penyelesaian yang komprehensif diantara kedua pejabat tersebut.

“Presiden SBY hanya mempedulikan besarnya pendapatan dari BMI tanpa mau peduli dengan nasib BMI,” tegas Retno.


‘Sapi Perah’

Retno juga menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2008 ini, kualitas perlindungan BMI masih belum ada perbaikan. Setoran BMI kepada pemerintah justru semakin besar. Catatan sementara mengenai jumlah pengiriman BMI ke Timur Tengah (sebesar 66 ribu BMI), Hongkong (17 ribu BMI), dan Malaysia (60 ribu), pemerintah telah memperoleh pemasukkan sebesar US$ 2.145.000 atau setara dengan Rp. 19.519.500.000 (19,5 miliar rupiah).

Dana ini dihitung dari ketentuan yang mewajibkan BMI membayar US$ 15 per orang. Jumlah ini akan semakin besar apabila kita juga memasukkan beberapa komponen pemasukkan, seperti dari pembuatan paspor, kartu TKI, dan biaya yang disetorkan BMI pada saat mengurus kepulangan di terminal pendataan kepulangan BMI (Terminal IV).

Berdasarkan catatan Migrantcare, sepanjang Januari hingga April tahun ini, setidaknya terdapat 86 BMI yang meninggal dunia di berbagai negara penempatan. “Data tersebut berasal dari laporan media massa, pengaduan keluarga, dan beberapa upaya pendataan lain yang kami lakukan selama ini,” jelas Nurharsono dari Migrantcare.

Sementara catatan dari LBH Iwork untuk kasus yang sama lebih besar, menurut Direktur LBH Iwork Yuni Asri, dari Januari sampai Agustus 2008 ini terdapat setidaknya 104 kasus BMI yang meninggal dunia. “Kami sudah berhasil memverifikasi 64 kasus kematian BMI. Dalam arti, data tentang ke-64 kasus kematian sudah relatif jelas. Sementara 38 kasus lainnya masih dalam taraf pelengkapan data,” jelas Yuni Asri dari LBH Iwork.

Selain itu, ratusan ribu BMI Malaysia, Korea Selatan, dan Hongkong terancam deportasi akibat lemahnya daya tawar pemerintah Indonesia selaku negara pengirim ke negara-negara penerima. Belum lagi korupsi dan buruknya pelayanan kantor-kantor perwakilan (kedubes maupun KJRI) di berbagai negara penerima menambah beban bagi buruh-buruh migrant Indonesia.

“Singkatnya, pemerintah pimpinan SBY-JK menganggap BMI sebagai ‘sapi-perahan’, namun kami menolak terus-terusan dijadikan sapi-perahan. Karena itu kami akan melawan dan terus memprotes kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang,” tegas Retno.

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA

CABUT SURAT KEPUTUSAN DIRJEN BINAPENTA NO. 186 TAHUN 2008
HENTIKAN DEPORTASI TERHADAP BMI
BUBARKAN TERMINAL IV PENDATAAN KEPULANGAN BMI
CABUT UU NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG PPTKILN

Nasib Buruh migrant Indonesia (BMI) seolah tidak lebih dari ‘sapi-perah’ yang selalu dihisap dan ditindas pemerintah Republik Indonesia. Sampai saat ini, tidak ada satupun kebijakan pemerintah RI yang benar-benar memberikan perlindungan terhadap BMI. Bahkan, rangkaian kebijakan yang diberlakukan pemerintah RI, seolah selalu memperpanjang rantai penindasan terhadap BMI.

Baru-baru ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Dirjen Binapenta, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) mengeluarkan Surat Keputusan No. 186 Tahun 2008 tentang komponen dan besarnya biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/ Jompo untuk tujuan Hongkong. Surat ini berisi jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon BMI/BMI yang hendak berangkat ke Hong Kong, sebesar Rp 15.550.000 plus USD 15.

Melalui SK tersebut, pemerintah seolah telah memangkas biaya penempatan BMI tujuan Hongkong yang sebelumnya diatur melalui SK No.B 603/1999 yang menetapkan biaya sebesar Rp. 17.845.000. SK Dirjen Binapenta 186 Tahun 2008 juga seolah hendak mencabut SK No.Kep. 653/2004 yang menetapkan biaya penempatan BMI tujuan Hongkong sebesar Rp. 9.132.000.

Akan tetapi, SK Dirjen Binapenta no 168 tahun 2008 sungguh mengandung banyak permasalahan. Dirjen Binapenta bukanlah pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan tentang komponen dan besaran biaya penempatan. Sebab, merujuk pada pasal 76 ayat 2 UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) dan dipertegas dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-18/MEN/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri pasal 44 ayat (1), yang berwenang menentukan komponen dan besaran biaya penempatan adalah menteri tenaga kerja dan transmigrasi.

Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, SK Dirjen Binapenta no 186 tahun 2008 tentang komponen dan besarnya biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/ Jompo untuk tujuan Hongkong adalah SK yang tidak sah secara hukum Ilegal. Dengan kata lain, Dirjen Binapenta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah melanggar hukum.

Keberadaan SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008 adalah cermin ketidakprofesionalan pemerintah RI dalam mengurus masalah-masalah pokok yang menimpa BMI. Masih terkait dengan masalah biaya penempatan, hampir semua buruh migran Indonesia mengalami berbagai tindakan pelanggaran hak dan kekerasan. Seluruh buruh-buruh migrant Indonesia di berbagai negara penempatan mengalami pemotongan upah (wage deduction) yang sangat besar sebagai ganti biaya penempatan.

Besaran pemotongan upahnya bervariasi yang hampir seluruhnya melebihi kewajaran. Untuk BMI yang bekerja di Hongkong misalnya, pemotongan upah mencapai HK$ 3000 (setara dengan Rp 3.300) dari upah perbulan yang mencapai HK$ 3580. Pemotongan gaji secara illegal tersebut berlaku selama tujuh bulan, sehingga rata-rata BMI menyetor uang sebesar HK$ 21.000 (setara dengan Rp 25 juta) kepada agensi dan PJTKI. Dengan jumlah ini, biaya penempatan yang secara riil dibayarkan BMI ternyata jauh lebih besar dibanding dengan jumlah biaya yang berlaku, baik melalui SK Dirjen Binapenta No.B 603/1999 maupun SK Dirjen Binapenta no 186 tahun 2008. Sementara di Hongkong sendiri, otoritas setempat hanya memperbolehkan agensi penempatan untuk memotong gaji sebesar satu bulan gaji dan melarang adanya pembebanan yang berlebih kepada buruh migran.

Masalah pemotongan gaji yang berlebihan atas nama penggantian biaya penempatan ini tidak hanya berlaku di Hong Kong, melainkan juga di berbagai Negara penempatan sehingga bisa dikatakan mayoritas buruh migrant Indonesia terjerat dalam fenomena ‘debt-bondage’ atau perbudakan karena utang yang secara esensi merupakan pelanggaran atas hak-hak dasar BMI sebagai manusia yang merdeka.

Mengapa terjadi pemotongan upah yang sangat besar seperti itu? Sesungguhnya bukan karena tidak ada aturan, melainkan karena lemahnya penegakkan aturan dan tidak adanya sanksi yang tegas oleh pemerintah RI kepada agensi dan PJTKI yang melakukan pemotongan gaji. Konspirasi antara pejabat pemerintah, PJTKI dan agensi (PJTKA) dalam hal pemotongan gaji untuk biaya penempatan menyebabkan masalah ini tidak pernah terselesaikan hingga sekarang.

Adanya SK Dirjen Binapenta yang cacat hukum ini adalah buah dari carut-marutnya urusan penempatan dan perlindungan BMI oleh pemerintah RI. Carut-marut ini bermula dari terbitnya UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN yang sedikitpun tidak memberikan perlindungan kepada BMI. Selain itu, adanya pertentangan antara Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), khususnya setelah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengaktifkan kembali Direktorat Jenderal Binapenta, dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang keduanya dibebani tugas memperbesar penempatan BMI di berbagai negara penempatan turut memperburuk pelaksanaan kewajiban Negara mengenai perlindungan terhadap BMI.

Padahal korban-korban akibat salah urus kebijakan BMI sudah semakin besar. Saat ini, sekitar 1,2 juta BMI tidak berdokumen dari Malaysia terancam deportasi dan mendapatkan hukuman dari otoritas imigrasi Malaysia. Kemudian, berdasarkan catatan Migrantcare, pada tahun 2008 ini, kurang lebih 86 BMI meninggal dunia dalam rentang waktu antara Januari-April 2008. Catatan LBH Iwork mengenai kasus yang sama justru lebih mengerikan, 104 BMI meninggal dunia sepanjang Januari-Agustus 2008 ini.

Sementara pemasukan negara dari setoran BMI justru semakin besar. Catatan sementara mengenai jumlah pengiriman BMI ke Timur Tengah (sebesar 66 ribu BMI), Hongkong (17 ribu BMI), dan Malaysia (60 ribu), pemerintah telah memperoleh pemasukkan sebesar US$ 2.145.000 atau setara dengan Rp. 19.519.500.000 (19,5 miliar rupiah). Dana ini dihitung dari ketentuan yang mewajibkan BMI membayar US$ 15 per orang. Jumlah ini akan semakin besar apabila kita juga memasukkan beberapa komponen pemasukkan, seperti dari pembuatan paspor, kartu TKI, dan biaya yang disetorkan BMI pada saat mengurus kepulangan di terminal pendataan kepulangan BMI (Terminal IV).

Atas dasar itu, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (Biro Informasi Jakarta), Migrantcare, LBH-Iwork, INDIES, KPC, LPB, dan FMN menyatakan sikap;

1. CABUT SURAT KEPUTUSAN DIRJEN BINAPENTA NO. 186 TAHUN 2008
2. TETAPKAN BIAYA PENEMPATAN BMI DI HONGKONG SEBESAR SATU BULAN GAJI
3. HENTIKAN DEPORTASI TERHADAP BMI DAN LAKUKAN PEMUTIHAN (LEGALISASI TERHADAP SELURUH BMI)
4. BUBARKAN TERMINAL IV PENDATAAN KEPULANGAN BMI
5. CABUT UU NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG PPTKILN
6. RATIFIKASI KONVENSI PBB TAHUN 1990 TENTANG PERLINDUNGAN HAK BURUH MIGRAN DAN KELUARGANYA

JAKARTA, 5 AGUSTUS 2008
ATKI JAKARTA, MIGRANT-CARE, LBH-IWORK, INDIES, KPC, LPB, FMN


Retno P. Dewi
Humas
081914640065