Rabu, 22 Oktober 2008

Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Sekarang Juga!

Sikap Buruh Migran dalam Menyikapi Rencana Pemerintahan SBY-Kalla yang Akan Melakukan Amandemen Terhadap UUPTKILN No. 39/2004

Krisis keuangan yang menghantam dunia saat ini bukan hanya menimbulkan kepanikan diantara pemimpin dunia, terutama negara-negara besar khususnya Amerika Serikat, namun juga memicu semakin dalamnya penindasan yang dialami rakyat di negeri-negeri dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia.

Sebagai negara yang hanya menjadi penyedia sumber daya dan sekaligus pasar bagi ekspor komoditas industri negara-negara besar, Indonesia semakin tidak berkutik ketika beberapa komoditas andalan, seperti sawit, mengalami kerontokkan harga di pasaran dunia. Demikian pula dengan keadaan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia. Jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyebabkan pemerintah SBY-JK memberikan dana tanggungan yang cukup besar untuk mengganti kerugan-kerugian para spekulan melalui kebijakan buyback saham BUMN sebesar Rp 6 triliun.

Gejolak krisis finansial yang ditandai dengan mengerutnya pasar Amerika Serikat telah berdampak secara langsung maupun tidak langsung bagi buruh migran. Pada saat ini, ribuan buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor manufaktur di negeri-negeri penempatan seperti Taiwan, Malaysia, dan Korea Selatan tengah menghadapi ancaman PHK akibat bangkrutnya pabrik-pabrik tempat BMI bekerja. Ancaman serupa juga bukan tidak mungkin dihadapi oleh buruh-buruh migran Indonesia di negara-negara penempatan lainnya, di Hong Kong misalnya, sekitar 40.000 warganya kehilangan dana yang mereka tanamkan di produk-produk investasi.   Status sebagai buruh migran dengan upah rendah dan tanpa perlindungan hukum yang memadai, memperentan posisi BMI dari berbagai ancaman pelanggaran hak dalam kondisi krisis ini.

Menghadapi krisis seperti ini, pemerintahan SBY-Kalla memilih untuk mengorbankan rakyatnya sendiri demi terus menyokong kepentingan ekonomi negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, dengan jalan mengintensifkan pengiriman tenaga kerja Indonesia dengan target tahun 2009 sebanyak satu juta, untuk memenuhi kebutuhan pasar buruh murah dunia, dan juga meningkatkan target pemasukan dari uang kiriman TKI sebesar Rp 125 triliun (Tabloid Kontan, Edisi Minggu II Oktober 2009) untuk melipat gandakan pengerukan devisa dari proses ekpsor manusia ini, sebagai injeksi dari ketergantungan Indonesia terhadap impor yang sudah sangat akut.

Sejak awal pemerintahan Sby-Kalla ini, mereka tidak sedikitpun menunjukan upaya untuk meingkatkan perlindungan bagi buruh migran Indonesia (BMI), sebaliknya mereka secara sistematis terus memaksimalkan potensi ekonomi dari proses pengiriman BMI, hal ini tercermin dalam program pemerintah mengenai percepatan pemulihan iklim investasi yang dituangkan dalam Inpres No. 3 tahun 2006 yang memasukan pengiriman BMI sebagai bagian dari paket kebijakan ini.

Kerangka inilah yang kemudian yang mendorong lahirnya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang terbukti hanya memiliki fungsi untuk semakin memperluas daerah tujuan pengiriman TKI, meningkatkan pemasukan negara, dan menggenjot peningkatan jumlah pengiriman TKI pertahunnya, namun lemah dalam peningkatan perlindungan. Selain itu, hal ini juga mendorong perubahan-perubahan regulasi untuk semakin memuluskan proses ekspor manusia ini, yang salah satunya tercermin dalam rencana amandemen UUPPTKILN No. 39/2004.

Argumen pemerintah yang berupaya menyembunyikan kebusukannya dengan mengatakan amandemen  UUPPTKILN ini dilakukan untuk meningkatkan perlindungan bagi BMI, telah mereka bantah sendiri dengan kebijakan-kebijakan mereka sebelumnya, selain itu, belum di ratifikasinya konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya semakin menguatkan bukti bahwa pemerintahan SBY-Kalla ini, memang tidak pernah memiliki keinginan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Isu tentang amandemen UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN memiliki dua pertimbangan; (1) untuk melayani kepentingan PJTKI guna mempermudah perijinan supaya bisa menunjang program pencapaian target pengiriman buruh migran Indonesia sebesar satu juta BMI per tahun; (2) mengalihkan perhatian buruh migran Indonesia dari tuntutan atas Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang selama ini didesakkan oleh buruh migran Indonesia.

Dalam pandangan ATKI, wacana tentang revisi UU No. 39 tahun 2004 hanya bisa dilakukan apabila pemerintah Indonesia memiliki framework perlindungan buruh migran yang komprehensif dan diakui secara internasional. Dengan demikian, revisi tersebut secara logika hanya bisa dilakukan pasca pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Konvensi tersebut tidak hanya berguna sebagai payung kebijakan perlindungan di dalam negeri, melainkan juga dapat menjadi instrumen untuk memandu politik diplomasi luar negeri, khususnya dengan negara-negara penerima BMI. 

Dengan demikian, ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya adalah kunci yang tidak hanya bisa memandu politik gerakan buruh migran terkait dengan UU No. 39 tahun 2004 melainkan juga menjadi referensi utama untuk melakukan koreksi yang fundamental atas kebijakan-kebijakan pemerintah RI tentang penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia. 

Untuk itu, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong (ATKI-HK) menyatakan sikap:
1. Cabut UU PPTKILN No. 39 Tahun 2004
2. Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya sekarang juga
3. Tetapkan biaya penempatan maksimum satu bulan gaji dan hapus biaya training 
4. Hapuskan terminal khusus TKI

Hong Kong 22 Oktober 2008

Eni Lestari
Ketua ATKI-HK