Jumat, 19 Desember 2008

Pemerintah Didesak Segera Ratifikasi Konvensi

Kamis, 18 Desember 2008 | 01:00 WIB

Jakarta, Kompas - Perlindungan pekerja migran masih memprihatinkan. Kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap pekerja migran dalam berbagai bentuk masih terus terjadi. Karena itu, Komisi Nasional Perempuan terus mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya.

”Pemerintah belum bisa meretas siklus kekerasan pada pekerja migran. Karena itu, kami menekankan harus ada standar perlindungan bagi mereka,” kata Ketua Gugus Kerja Pekerja Migran Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Wiyanti Eddyono di Jakarta, Rabu (17/12), menyambut Hari Pekerja Migran, 18 Desember 2008.

Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Kamis (18/12) ini, akan melancarkan demo jalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara.

Komnas Perempuan mengapresiasi berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, tetapi upaya itu belum menunjukkan hasil efektif pada perlindungan pekerja migran, khususnya para korban.

Pada masa Presiden Megawati, UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sudah disahkan, berdekatan dengan disahkannya Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009—salah satu rencananya adalah ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya (1990). Pemerintah sekarang telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Menurut Azriana, Ketua Subkomisi Sistem Pemulihan Korban Komnas Perempuan, berbagai kajian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada belum menjawab persoalan perlindungan pekerja migran.

Mantan pekerja migran Retno Dewi, koordinator ATKI yang pernah bekerja di Singapura dan Hongkong, menuturkan pengalamannya betapa lemahnya posisi pekerja migran dan begitu mudahnya dipermainkan agen.

”Satu tahun di Singapura saya berganti majikan dua kali dan setiap kali ganti majikan gaji saya dipotong untuk agen 200 dollar Singapura selama enam bulan. Satu bulan bekerja saya hanya terima 30 dollar,” ungkap Retno.

Dede Elah, Ketua Solidaritas Buruh Migran Cianjur yang pernah bekerja di Arab Saudi, menceritakan bahwa ia pernah dipukul anak majikan sehingga ia melarikan diri ke Konsulat Jenderal RI. ”Bukannya dilindungi, tetapi saya malah dimarah-marahi orang di konsulat dan dikembalikan ke rumah majikan,” kata Dede Elah. (LOK)

Sumber Kompas

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/18/01005271/pemerintah.didesak..segera.ratifikasi.konvensi

Pemerintah Masih Belum Optimal Bela TKI

Jumat, 19 Desember 2008 | 03:00 WIB


Jakarta, Kompas - Buruh migran Indonesia, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, merayakan Hari Buruh Migran Internasional, Kamis (18/12),dengan berbagai cara.

Isu utama adalah menuntut pemerintah meningkatkan perlindungan bagi buruh migran. Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Miftah Farid mengatakan, mekanisme perlindungan buruh migran belum jelas dalam undang-undang.

SBMI menuntut pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang lebih mengedepankan perekrutan dan penempatan.

Sedikitnya enam juta buruh migran Indonesia bekerja di luar negeri. Mereka mengirim uang sedikitnya Rp 85 triliun tahun 2008, naik signifikan dari Rp 44 triliun tahun 2007. Dari jumlah tersebut, sedikitnya dua juta buruh migran Indonesia bekerja tanpa dokumen.

Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah dalam aksi bersama 19 organisasi peduli buruh migran di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, mengatakan, mereka menuntut supaya pemerintah mencabut UU No 39/2004 yang tidak berorientasi melindungi buruh migran.

Pemerintah dinilai memandang buruh migran sebagai sumber penghasil devisa. Padahal, mereka terpaksa ke luar negeri karena tidak tersedia lapangan kerja di dalam negeri.

Tuntutan serupa juga disampaikan buruh migran Indonesia di Hongkong. Dalam aksi di depan Konsul Jenderal RI di Hongkong, Eni Lestari dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Hongkong menilai UU No 39/2004 lebih mengedepankan kepentingan pengusaha.

Ketua Umum Indonesian Migrant Workers Union Rusemi menambahkan, pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya.

Ketua Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman menilai, TKI merupakan korban rezim yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. TKI sesungguhnya merupakan bukti paling nyata kegagalan SBY-JK membangun perekonomian rakyat. (ham/gun)

Kamis, 18 Desember 2008

Pemerintah Masih Belum Optimal Bela TKI

Kamis, 18 Desember 2008 | 22:26 WIB

JAKARTA, KAMIS - Buruh migran Indonesia baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri merayakan hari buruh migran internasional yang jatuh pada Kamis (18/12) dengan berbagai cara. Isu utama adalah menuntut pemerintah meningkatkan perlindungan buruh migran.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia Miftah Farid mengatakan, mekanisme perlindungan buruh migran belum jelas dalam undang-undang. SBMI menuntut pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang lebih mengedepankan rekrutmen dan penempatan.

Sedikitnya enam juta buruh migran Indonesia bekerja di luar negeri. Mereka mengirim uang sedikitnya Rp 85 triliun tahun 2008, naik signifikan dari Rp 44 triliun tahun 2007. Dari ju mlah tersebut, sedikitnya dua juta buruh migran Indonesia bekerja tanpa dokumen.

Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah dalam aksi bersama 19 organisasi peduli buruh migran di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, mengatakan, mereka menuntut supaya peme rintah mencabut UU Nomor 30/2004 yang tidak berorientasi melindungi buruh migran.

Pemerintah dinilai memandang buruh migran sebagai sumber penghasil devisa. Padahal, mereka terpaksa ke luar negeri karena tidak tersedia lapangan kerja di dalam negeri.

Tuntutan serupa juga disampaikan buruh migran Indonesia di Hong Kong. Dalam aksi di depan Konsul Jenderal RI di Hong Kong, Eni Lestari dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Hong Kong menilai UU Nomor 39/2004 lebih mengedepankan kepentingan pengusaha. Ketua Umum Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Rusemi menambahkan, pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya.

ATKI dan IMWU kini telah membentuk aliansi beranggotakan 36 organisasi buruh migran Indonesia di Hong Kong. Organisasi yang mewakili sebagian besar dari 120.000 buruh migran Indonesia di Hong Kong ini bertekad memperjuangkan pencabutan UU Nomor 39/2004 yang dinilai tidak memberi kontribusi apapun bagi buruh migran.

Salah satu persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia di Hong Kong adalah pembayaran gaji yang lebih rendah dari ketentuan. Meski pemerintah mengklaim sudah ada perbaikan dan yang masih mengalami praktik itu terus berkurang, para buruh migran mengaku praktik ini masih terjadi. Mereka menuntut supaya pemerintah melindungi buruh migran yang menghadapi berbagai kasus seperti ini dan tidak mendiamkannya.

Menurut Kepala Subdit Pengawasan Konselur Direktorat Perlindungan WNI Deplu Fachri Sulaeman dalam seminar nasional yang diselenggarakan SBMI dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jakarta, para diplomat RI kini tak lagi tunduk terhadap asing dalam berjuang membela WNI di luar negeri.

Dia tidak menampik masih ada satu-dua kasus yang tidak tertangani dengan baik. Namun, Fachri meminta semua pihak menilai dengan adil karena banyak juga langkah Deplu yang berhasil membela WNI di luar negeri. "Kami juga telah berhasil menyelamatkan delapan TKI dari hukuman mati di Singapura. Tetapi tidak ada yang mengapresiasi hal itu," ujar Fachri.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Mohammad Jumhur Hidayat mengatakan, perwakilan RI di luar negeri harus tegas membela TKI. Agen yang nakal harus segera dihukum. "Kalau tidak berani, lapor BNP2TKI, supaya kami yang cabut izin mereka dari Jakarta," ujar Jumhur.

Jumhur mengatakan, selama ini BNP2TKI berhadapan dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi soal penempatan dan Departemen Luar Negeri soal perlindungan TKI di luar negeri.

"Kami terus berupaya meningkatkan pelayanan dan perlindungan terhadap TKI sejak mulai proses perekrutan sampai pemulangan kembali ke Tanah Air. Tetapi berbagai upaya yang telah kami bangun selalu terhambat saat harus berkoordinasi dengan instansi lain," ujar Jumhur.

Namun, Ketua Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman mengatakan, TKI merupakan korban rezim yang tak berpihak pada kesejahteraan rakyat. TKI sesungguhnya merupakan bukti paling nyata kegagalan SBY-JK membangun perekonomian rakyat.

HAM,GUN 

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/18/22260012/Pemerintah.Masih.Belum.Optimal.Bela.TKI

Pemerintah Didesak Segera Ratifikasi Konvensi

Kamis, 18 Desember 2008 | 01:00 WIB 

Jakarta, Kompas - Perlindungan pekerja migran masih memprihatinkan. Kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap pekerja migran dalam berbagai bentuk masih terus terjadi. Karena itu, Komisi Nasional Perempuan terus mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya.

”Pemerintah belum bisa meretas siklus kekerasan pada pekerja migran. Karena itu, kami menekankan harus ada standar perlindungan bagi mereka,” kata Ketua Gugus Kerja Pekerja Migran Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Wiyanti Eddyono di Jakarta, Rabu (17/12), menyambut Hari Pekerja Migran, 18 Desember 2008.

Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Kamis (18/12) ini, akan melancarkan demo jalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara.

Komnas Perempuan mengapresiasi berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, tetapi upaya itu belum menunjukkan hasil efektif pada perlindungan pekerja migran, khususnya para korban.

Pada masa Presiden Megawati, UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sudah disahkan, berdekatan dengan disahkannya Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009—salah satu rencananya adalah ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya (1990). Pemerintah sekarang telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Menurut Azriana, Ketua Subkomisi Sistem Pemulihan Korban Komnas Perempuan, berbagai kajian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada belum menjawab persoalan perlindungan pekerja migran.

Mantan pekerja migran Retno Dewi, koordinator ATKI yang pernah bekerja di Singapura dan Hongkong, menuturkan pengalamannya betapa lemahnya posisi pekerja migran dan begitu mudahnya dipermainkan agen.

”Satu tahun di Singapura saya berganti majikan dua kali dan setiap kali ganti majikan gaji saya dipotong untuk agen 200 dollar Singapura selama enam bulan. Satu bulan bekerja saya hanya terima 30 dollar,” ungkap Retno.

Dede Elah, Ketua Solidaritas Buruh Migran Cianjur yang pernah bekerja di Arab Saudi, menceritakan bahwa ia pernah dipukul anak majikan sehingga ia melarikan diri ke Konsulat Jenderal RI. ”Bukannya dilindungi, tetapi saya malah dimarah-marahi orang di konsulat dan dikembalikan ke rumah majikan,” kata Dede Elah. (LOK)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/18/01005271/pemerintah.didesak..segera.ratifikasi.konvensi