Selasa, 20 Januari 2009

Ketenagakerjaan: Buruh Migran di Taiwan Harus Dipulangkan

Rabu, 21 Januari 2009 | 01:56 WIB -- Jakarta, Kompas - Saat ini ratusan buruh migran Indonesia terpaksa tinggal di beberapa pusat penahanan atau detention center Taiwan karena dituding telah melanggar ketentuan keimigrasian Taiwan untuk pekerja migran. Akibatnya, keluarga buruh migran Indonesia tersebut harus menanggung beban biaya pemulangan dan pembayaran denda keimigrasian yang cukup besar.

”Pemerintah harus segera bertindak mengajukan pengampunan dan memproses pemulangan para buruh migran Indonesia tersebut,” kata kata Retno Dewi, Koordinator Biro Informasi Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Jakarta, Selasa (20/1).

Menurut Retno, para buruh migran Indonesia (BMI) tersebut ditangkap imigrasi Taiwan karena dituding menjadi BMI ilegal. Masalah ini sebenarnya akibat permainan agen dan majikan yang menelantarkan para BMI tersebut pascahabisnya masa potongan upah bulanan.

Dikenai potongan

Mayoritas BMI yang bekerja di Taiwan umumnya dikenai potongan hingga 15 bulan dengan besaran potongan bulanannya mencapai 80 persen dari gaji mereka.

Jumlah potongan sebesar itu akibat dari kebijakan biaya penempatan yang sangat tinggi yang dibebankan kepada para buruh migran Indonesia.

”Selain potongan gaji ketika mereka bekerja di Taiwan, BMI juga masih dikenai biaya penempatan oleh perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang memberangkatkan mereka sebesar Rp 3 juta-Rp 5 juta bagi pembantu rumah tangga dan Rp 30 juta-Rp 70 juta bagi buruh pabrik. Uang itu harus mereka bayar lunas sebelum mereka berangkat ke Taiwan,” kata Retno menambahkan.

Biaya penempatan BMI tujuan Taiwan yang ditarik PJTKI selama ini adalah pelanggaran terhadap peraturan pemerintah yang tertuang dalam Surat Keputusan Dirjen PTKLN No 158/D2PTKLN/XII/2004 yang mengatur tentang biaya penempatan BMI tujuan ke Taiwan sebesar Rp 12,9 juta. Lemahnya penegakan aturan terhadap standar biaya penempatan yang diatur oleh Pemerintah Indonesia ini menunjukkan kegagalan pemerintah memberikan perlindungan bagi warga negaranya.

Bila mengacu pada Permennakertrans No 23/2008 tentang asuransi TKI, para BMI yang ditahan dan keluarganya tidak perlu menanggung biaya untuk memproses pemulangan mereka. Kasus Taiwan ini adalah akibat dari tidak fokusnya Pemerintah Indonesia dalam memerhatikan masalah-masalah yang dihadapi warganya yang menjadi buruh migran. (LOK)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/21/01561526/buruh.migran.di.taiwan.harus.dipulangkan

Senin, 19 Januari 2009

Pemerintah harus segera memproses Pemulangan ratusan BMI yang ditahan di Taiwan!

Saat ini, ratusan buruh migran Indonesia (BMI) terpaksa tinggal di beberapa pusat penahanan (detention center) Taiwan karena disangka telah melanggar ketentuan keimigrasian Taiwan untuk pekerja migran.. Akibatnya, keluarga BMI tersebut harus menanggung beban biaya pemulangan dan pembayaran denda keimigrasian yang cukup besar. Pemerintah harus segera bertindak mengajukan pengampunan dan memproses pemulangan para BMI tersebut..

Hal ini ditegaskan oleh Retno Dewi, Koordinator Biro Informasi Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Jakarta. Menurut Retno, para BMI tersebut ditangkap pihak imigrasi Taiwan karena disangka telah menjadi BMI yang tidak berdokumen. Masalah ini sebenarnya merupakan akibat permainan agen dan majikan yang menelantarkan para BMI tersebut pasca habisnya masa potongan upah bulanan.

Retno juga menjelaskan bahwa mayoritas BMI yang bekerja di Taiwan umumnya dikenai potongan hingga 15 bulan, dengan besaran potongan bulanannya mencapai 80% gaji mereka. Jumlah potongan sebesar itu adalah akibat dari kebijakan biaya penempatan yang sangat tinggi yang dibebankan kepada para buruh migran Indonesia.

"Selain potongan gaji ketika mereka bekerja di Taiwan, BMI juga masih dikenakan baiaya penempatan oleh PJTKI yang memberangkatkan mereka sebasar 3-5 juta rupiah bagi kategori PRT, dan 30-70 juta rupiah bagi kategori buruh pabrik yang harus mereka bayar lunas sebelum mereka berangkat ke taiwan" tambah Retno

Biaya penempatan BMI tujuan Taiwan yang ditarik PJTKI selama ini adalah pelanggaran terhadap peraturan pemerintah yang tertuang dalam Surat Keputusan Dirjen PTKLN No. 158/D2PTKLN/ XII/2004 yang mengatur tentang biaya penempatan BMI tujuan ke Taiwan sebesar Rp 12,944,500, namun lemahnya penegakan terhadap estándar biaya penempatan yang diatur oleh pemerintah indonesia ini menunjukan kegagalan pemerintah memberikan perlindungan bagi warga negaranya mengingat hal ini telah menimpa ratusan ribu BMI yang bekerja di Taiwan.

Bila mengacu pada permenakertrans No.23/2008 tentang asuransi TKI, para BMI yang ditahan ini dan keluarganya, tidak perlu menanggung biaya untuk memproses pemulangan yang selama ini telah menyababkan korban terlilit hutang yang jauh lebih besar akibat biaya pemulangan ini. Karena didalam permanakertrans tersebut sudah mengatur tentang hal-hal seperti itu. Kasus Taiwan ini adalah akibat dari tidak fokusnya pemerintah indonesia dalam memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi warganya yang menjadi BMI.

Saat ini, ATKI tengah melakukan pendataan secara langsung terhadap BMI yang saat ini berada dalam pusat penahanan keimigrasian di beberapa daerah di Taiwan. "Kami telah memiliki data yang berisi puluhan nama BMI yang berada pusat penahanan imigrasi Taiwan berikut dengan nama-nama PJTKI yang mengirimkannya, " jelas Retno.

ATKI juga terus berkomitmen melakukan monitoring kasus ini di taiwan, dan akan mendesak pemerintah indonesia di Jakarta untuk segera memproses pemulangan ratusan BMI yang sedang mendekam di rumah penahan imigrasi di Taiwan," tegas Retno.

Referensi:
Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia - Biro Informasi Jakarta. Kontak: Retno Dewi (mobile: 0817820952). E-mail: atki.indonesia@gmail.com.. Web: http://atkijakarta.cmsindo.com.

Jumat, 09 Januari 2009

Konflik Depnakertrans dengan BNP2TKI:Erman Suparno dan Jumhur Hidayat sama-sama Amatir!

Jakarta, FPR. Pada saat ini, pemerintah semestinya fokus untuk menangani dampak krisis keuangan dan ekonomi dunia terhadap buruh migrant Indonesia di berbagai negeri, kemudian memberikan penanganan semestinya kepada buruh-buruh migrant Indonesia yang terancam hukuman dan deportasi di Malaysia, segera melakukan upaya-upaya aktif untuk membebaskan Umi Saadah (buruh migrant Indonesia yang kini terperangkap di Jalur Gaza, Palestina), dan sungguh-sungguh mereview dan mencabut kebijakan-kebijakan yang menyebabkan buruknya nasib yang menimpa BMI di berbagai negeri.

Pernyataan itu disampaikan Retno Dewi, Koordinator Biro Informasi ATKI di Jakarta, menanggapi kekisruhan dan polemik antara Kantor Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) terkait dengan masalah kewenangan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan masalah kebijakan asuransi TKI.

Masalah yang memicu “perkelahian” antara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno dengan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, M. Jumhur Hidayat, adalah karena lahirnya SK Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang membatasi kewenangan BNP2TKI dalam hal penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan mengalihkan kewenangan tersebut ke Pemerintah Kota/Kabupaten.

Sebagaimana diberitakan berbagai media massa, SK menakertrans tersebut lahir setelah Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan evaluasi atas kinerja BNP2TKI. Evaluasi tersebut, melahirkan revisi Permenakertrans No 18/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Permenakertrans No 20/2007 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Revisi tersebut pada intinya mengalihkan sebagian kewenangan BNP2TKI kepada pemerintah daerah (pemprov, pemkab/pemkot). BNP2TKI dipandang tidak mampu memenuhi target penempatan BMI. Pihak Menakertrans juga menyatakan bahwa rendahnya target penempatan yang dilakukan oleh BNP2TKI berbanding terbalik dengan anggaran yang diberikan kepada BNP2TKI.

Tidak terima dengan tudingan tersebut, pihak BNP2TKI secara terbuka membantah klaim Menakertrans. Selain menyatakan bahwa target penempatan BMI sesungguhnya telah tercapai, BNP2TKI juga mengatakan bahwa anggaran yang telah digunakan tidak sebesar yang dinyatakan menakertrans. Sebaliknya, pihak BNP2TKI menuding pihak Menakertrans telah melanggar UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Pada saat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Direktorat Jenderal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (Dirjen Binapenta) melakukan sosialisasi atas kebijakan terbaru ke berbagai daerah, pihak BNP2TKI menyatakan telah melaporkan keberadaan SK tersebut ke Presiden dan Ketua DPR.

Kekisruhan tersebut menunjukkan kekanak-kanakkan dari para pejabat, yakni Erman Suparno selaku Menakertrans dan M. Jumhur Hidayat selaku kepala BNP2TKI, yang tugas pokoknya adalah mengurusi masalah perlindungan dan penempatan TKI. Selain itu, kekisruhan ini juga menunjukkan tidak jelasnya tata aturan dan pembagian tugas kelembagaan diantara pemerintah sendiri terkait dengan masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia.

Isu tentang kewenangan penempatan BMI tidak bisa dilepaskan dari adanya kepentingan-kepentingan ekonomi yang menyertai kewenangan tersebut. Sebagaimana diketahui, instansi yang berwenang mengelola penempatan adalah instansi yang pada akhirnya akan memonopoli penarikan biaya penempatan yang disetorkan buruh migrant Indonesia. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, besaran biaya penempatan BMI bervariasi berdasarkan negara tujuan penempatan. Kisarannya biaya penempatan yang resmi berdasarkan aturan adalah Rp 4,2 juta sampai Rp 20 juta. Namun dalam kenyataannya, buruh migran Indonesia membayar lebih dari biaya resmi yang tertera dalam aturan mengenai struktur biaya penempatan. Adanya kewenangan inhern untuk mengelola biaya penempatan inilah yang menyebabkan isu tentang kewenangan penempatan menjadi isu yang tidak bisa dilepaskan dari adanya kepentingan-kepentingan ekonomi di belakangnya.

Retno mengingatkan, kekisruhan ini menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya tidak memiliki desain terpadu untuk menangani masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang kini telah semakin kompleks. Baik Menteri Erman Suparno maupun Kepala BNP2TKI M. Jumhur Hidayat sama-sama “amatir” alias tidak professional sebab telah mengabaikan kepentingan publik dan menggunakan kewenangan institusional selaku pejabat pemerintah untuk kepentingan-kepentingan sendiri. “Sepertinya hanya di Indonesia, kita bisa melihat pejabat-pejabat pemerintah yang diangkatnya untuk secara terbuka saling ‘sikut-sikutan’ di depan umum,” tegas Retno.

Menurut Retno pertentangan antara Menakertans dan Kepala BNP2TKI, yakni seputar pengalihan kewenangan BNP2TKI kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, sama sekali tidak terkait dengan kepentingan dan kehendak buruh migran Indonesia untuk mendapatkan perlindungan dan pengakuan hak dari buruh migrant Indonesia. Bahkan, pertentangan tersebut semakin menunjukkan tidak adanya sensitifitas pejabat pemerintah Indonesia, khususnya Menakertrans dengan Kepala BNP2TKI atas masalah-masalah pokok yang dialami buruh-buruh migran Indonesia di berbagai negara penempatan.

Pada saat ini, menurut Retno, buruh migran Indonesia menuntut Pemerintah SBY-JK untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap seluruh hak-hak buruh migran Indonesia. Selain itu, BMI juga menuntut pemerintah RI untuk segera menghapuskan biaya-biaya penempatan yang sangat tinggi yang telah menyebabkan buruh-buruh migrant Indonesia terjebak dalam fenomena perbudakan karena utang (debt bondage), meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak bagi seluruh Buruh Migran dan Keluarganya, mencabut UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, meniadakan kebijakan-kebijakan yang memerburuk kehidupan buruh migran dan keluarganya.

Hal ini sesungguhnya sangat tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik setingkat menteri dan kepala BNP2TKI. Ketika peristiwa ini terjadi, dan kali ini bukanlah yang pertama kalinya, Presiden SBY sebagai pimpinan atas dua pejabat yang saling berseteru itu seharusnya sudah mengambil tindakan tegas. Bila perlu, mencopot keduanya, untuk setidaknya mengurangi beban masalah seputar buruh migran Indonesia yang sangat kompleks seperti saat ini.***

Kamis, 08 Januari 2009

BNP2TKI dan Depnaker Memanas Lagi: Berebut Penanganan TKI

Kamis, 08 Januari 2009

JAKARTA - Setelah sempat mereda, ketegangan antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Depnakertrans meruncing lagi. Kali ini, pemicunya adalah langkah Depnakertrans yang tiba-tiba merevisi Permenakertrans No 18/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Permenakertrans No 20/2007 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.

Dalam revisi peraturan Menakertrans No 18/2007 disebutkan kewenangan penempatan dan perlindungan TKI akan dikembalikan ke Depnakertrans dan pemprov serta pemkab/pemkot. Sedangkan revisi Permenakertrans No 20/2007 antara lain menyebutkan pelaksanaan program asuransi TKI dapat menggunakan jasa pialang.

Plt Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Depnakertrans I Gusti Made Arke menyatakan, kewenangan penempatan dan perlindungan TKI yang selama ini ada pada BNP2TKI akan dikembalikan ke Depnakertrans. Sedangkan penempatan TKI ke negara-negara selain Jepang, menjadi tanggung jawab Depnakertrans dan Disnaker Pemprov dan pemkab/pemkot. ''BNP2TKI hanya akan menangani penempatan dan perlindungan TKI untuk program government to government (G to G, Red) dan penempatan TKI ke Jepang, khusus perawat,'' ujar Made saat paparan tentang revisi kedua permen itu di kantornya kemarin (7/1).

Menurut Made, revisi kedua permen itu berdasarkan mandat dan kaidah dalam UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Selain itu, perubahan permen sesuai PP No 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, antara Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota. ''Jadi, penempatan dan perlindungan TKI akan menjadi urusan Depnakertrans di dinas-dinas daerah dan menjadi kewajiban PPTKIS (pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta, Red)," katanya.

Menanggapi pemangkasan kewenangan dan otoritas tersebut, BNP2TKI tampak kebakaran jenggot. Kabag Humas Rosyandi Moenzier menegaskan bahwa pihaknya akan tetap menjalankan tugas dan fungsi sesuai UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Selain itu, dasar penolakan BNP2TKI terhadap keputusan Depnakertrans adalah Peraturan Presiden No 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, dan Instruksi Presiden No 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI.

Rosyandi mengingatkan, sesuai dua dasar hukum tersebut, selain bertugas melaksanakan program pelayanan penempatan dan perlindungan TKI, BNP2TKI berhak memberikan pelayanan, mengoordinasikan dan melakukan pengawasan. Hal tersebut antara lain, tanggungjawab mengenai dokumen TKI, pembekalan dan pemberangkatan akhir, penyelesaian masalah, sumber-sumber pembiayaan, pemberangkatan sampai pemulangan, meningkatkan kualitas CTKI, informasi, kualitas pelaksana penempatan TKI, dan peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

''Dalam Inpres No 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI bahkan lebih jelas rincian tugas BNP2TKI, Depnakertrans, dan instansi-instansi lain. Jadi, kami hanya menjalankan ketentuan yang sudah ada dan lebih tinggi dari Permenakertrans," pria yang akrab disapa Robi tersebut dengan nada tinggi.

Dia lantas mengingatkan, sesuai amanat pasal 94 UU No 39 Tahun 2004, keberadaan BNP2TKI dimaksudkan untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI melalui pelayanan dan tanggung jawab terpadu. ''Itu bunyi undang-undangnya. Jadi, kalau ada pelayanan penempatan dan perlindungan TKI yang tidak sesuai UU No 39 Tahun 2004 berarti ilegal, dan ada konsekuensi hukumnya," kata Rosyandi.

Menurut Rosyandi, pihaknya berharap seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah, lembaga-lembaga pelaksana, dan pendukung terkait tetap melaksanakan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI sesuai ketentuan undang-undang. (zul/agm)

Rabu, 07 Januari 2009

Seluruh Tubuh Keni Disetrika

Rabu, 7 Januari 2009 | 03:00 WIB

Gaji Rp 6 juta yang diterima Keni (28) agaknya tidak akan pernah sebanding dengan penderitaan yang dialaminya.

Keni, tenaga kerja Indonesia asal Desa Losari Lor, Kecamatan Losari, Brebes, Jawa Tengah, disiksa oleh majikan perempuannya di Madinah, Arab Saudi, selama tiga bulan. Dia kini dirawat di RS Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Luka-luka Keni memang sudah mulai kering. Namun, keloid yang muncul di bekas-bekas luka dan bentuk kedua kupingnya yang berubah akan menjadi tanda sepanjang umur Keni dan orang-orang di sekitarnya atas kekerasan yang dialami Keni.

Dari penuturan Keni, kekerasan yang dilakukan Wafa, majikan perempuannya, dimulai setelah satu bulan dia bekerja pada keluarga itu.

”Majikan marah kalau saya tidak bisa membersihkan ruangan dalam waktu setengah jam. Padahal ruangannya banyak. Rumahnya saja tiga lantai,” tutur perempuan yang sudah memiliki satu anak berusia tiga tahun ini.

Setiap marah, Wafa lalu menarik Keni dan membawanya ke ruang setrika. Setrikaan yang telah dipanaskan oleh Wafa lalu ditempelkan ke tubuh Keni. ”Setiap kali menyetrika tubuh saya, dia lalu mengobatinya. Dia punya lemari obat-obatan yang besar. Tetapi besoknya, kalau marah, dia menyetrika saya lagi,” cerita Keni.

Luka bakar yang diderita Keni hampir menutupi seluruh tubuhnya. Kedua kuping Keni tampak mengerut. Leher, kedua tangan, dada, perut, punggung, dan kaki, semua tidak luput dari kebengisan Wafa.

Selain menyetrika, Wafa juga memukul Keni, mencongkel gigi depan Keni, kemudian memaksa Keni untuk menelannya, dan juga tidak memberi makan yang cukup bagi Keni.

Keni mengaku tidak bisa melarikan diri karena rumah majikannya selalu terkunci. Dia baru bebas ketika majikan laki-lakinya, Khalid Al Khuraifi, mengetahui perbuatan istrinya. Keni lalu dipulangkan ke Indonesia. Namun, ketika pulang, Keni dipakaikan baju dan cadar yang tertutup sehingga luka-luka yang ada di kulitnya tidak ditahui oleh pihak keamanan di bandara.

Ketika Keni akan pulang, majikan memberikannya gaji Rp 6 juta. Padahal, Keni telah bekerja selama 4,5 bulan dan gaji per bulannya Rp 2 juta. ”Alasannya, gaji saya dipotong untuk biaya tiket pesawat,” kata Keni.

Charmiah (48), ibunda Keni, ketika ditemui di RS Polri terus-menerus menangis melihat kondisi anak tunggalnya itu. ”Anak saya berangkat cantik, kenapa sekarang bisa begini. Saya minta pelakunya dihukum setinggi-tingginya,” kata perempuan yang sehari-hari berdagang bahan pokok di Pasar Losari ini.

Charmiah mengaku, dia tidak mengizinkan Keni bekerja di luar negeri. Namun, Keni harus bekerja karena suaminya, Saifudin, tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia lebih sering menganggur daripada bekerja. Charmiah meminta Keni membantunya berdagang saja. Namun, Keni menolak. Dia memaksa dengan alasan mencari pengalaman selagi masih muda.

”Tidak tahunya pengalaman yang didapat adalah pengalaman buruk,” tangis Charmiah.

Menurut Charmiah, sebelum bekerja kepada Wafa, Keni pernah bekerja dua tahun di Arab Saudi. Namun, selama dua tahun bekerja, Keni tidak pernah mengirimkan uang gajinya kepada keluarga. ”Tidak tahu uangnya ke mana. Kata dia, belum dibayar majikannya.”

Nirmala Bonat ke-2

Jamaluddin, Koordinator Advokasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), menyayangkan kekerasan yang dialami Keni ini tidak diumumkan oleh pemerintah. ”Keni sudah tiga bulan dirawat di RS Polri dan tidak sekali pun pemerintah terbuka mengenai masalah ini,” kata Jamaluddin.

Dia menilai pemerintah selalu bertindak lambat dan cenderung menutupi kejadian yang menimpa warganya yang berada di luar negeri.

”Kasus Keni menjadi kasus Nirmala Bonat ke-2, TKI yang disiksa di Malaysia. Kasus Nirmala sendiri membutuhkan waktu empat tahun untuk memberikan hukuman kepada majikannya,” kata Jamaluddin.

Dengan kasus yang menimpa Keni ini, SBMI menuntut Pemerintah Indonesia mengajukan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Arab Saudi dan mendesak Pemerintah Arab Saudi mengusut tuntas kasus Keni sesuai hukum yang berlaku di Arab Saudi.

”Proses pengadilan untuk kasus penyiksaan terhadap TKI sangat melelahkan. Bahkan, banyak kasus yang terhenti proses penyidikannya,” tegas Jamaluddin yang bertemu dengan Keni tanpa sengaja di RS Polri.

Sementara itu, Kepala Subdirektorat Pengamanan Deputi Perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Komisaris Besar Yunarlim Munir mengatakan, BNP2TKI telah bekerja sama dengan perwakilan di luar negeri untuk mengusut tuntas kasus ini.

”Majikannya menyatakan sanggup membiayai pengobatan Keni hingga sembuh. Namun, kasus hukumnya kami serahkan kepada Pemerintah Arab Saudi,” kata Yunarlim.

Dia juga mengatakan, saat ini majikan perempuan Keni telah diperiksa penyidik. ”Proses pemeriksaannya belum selesai. Jadi belum tahu kapan persoalan ini akan dibawa ke pengadilan,” kata Yunarlim.

Dia menambahkan, saat ini ada sekitar enam juta TKI yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah itu, yang mengalami penyiksaan tidak banyak. ”Saya tidak tahu jumlah pastinya, tetapi angkanya kecil hanya 0,0 sekian persen,” kata Yunarlim.

Jamaluddin mengatakan, jumlah TKI yang mempunyai masalah di luar negeri cukup banyak. Dari 1.000 TKI yang pulang setiap hari, sekitar 100 orang mempunyai masalah. Namun, masalahnya beragam. (M CLARA WRESTI)

Babak baru gerakan BMI Hong Kong

Posted by suara on Dec 19, '08 1:13 AM for everyone

Oleh Santi

PEMBENTUKAN aliansi 38 organisasi Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang mendesak pencabutan UU No.39/2004 membuka babak baru bagi gerakan perjuangan pekerja migran.

Ruang di lantai 5 City University itu penuh sesak. Nyaris 100 orang duduk berdempet. Seorang perempuan dengan kaos hitam bertulis slogan buruh migran, memegang microphone di tangan. Ia berdiri di depan. Bicara tentang pentingnya pencabutan Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (PPTKILN). Hari itu Minggu, 7 Desember 2008.

Nama perempuan itu Rusemi. Ia adalah Ketua Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), sebuah serikat buruh migran Indonesia di Hong Kong yang didirikan tahun 2001.

Tak ada yang aneh sebenarnya jika seorang ketua serikat buruh bicara di depan publik tentang sebuah kebijakan yang dinilai merugikan pekerja migran. Rusemi berkali-kali melakukan itu, baik di ruang tertutup, maupun di lapangan terbuka saat bicara dengan massa aksi di depan kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia.

Yang berbeda pada pertemuan Minggu itu adalah Rusemi didampingi oleh Eni Lestari. Yang terakhir ini adalah Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), sebuah organisasi yang juga merupakan wadah BMI yang dibentuk kurang lebih setahun setelah IMWU berdiri. Eni adalah juga Ketua International Migrant Alliance (IMA), sebuah aliansi internasional yang beranggotakan organisasi dan serikat buruh migran dari berbagai negara.

Rusemi dan Eni masing-masing mewakili serikat dan organisasi BMI dengan anggota terluas di Hong Kong, dan kedua organisasi ini juga memiliki sejarah terpanjang dalam pembangunan kesadaran BMI terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja migran.

Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa dua organisasi ini selalu “berjalan” sendiri dengan kampanye program maupun aksi mereka. Seorang pejabat di KJRI Hong Kong bahkan memposisikan mereka sebagai dua kubu yang berbeda.

Terlebih ketika ATKI kemudian menjadi motor dalam pembentukan Persatuan BMI Tolak Overcharging (Pilar). Hal ini mau tidak mau membuat orang berpikir tentang keberadaan Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (Kotkiho), sebuah koalisi enam organisasi yang sudah terbentuk jauh sebelumnya dimana IMWU juga menjadi motor di dalamnya. Dalam aksi-aksi mereka, IMWU selalu bergerak bersama Kotkiho, sementara ATKI dengan Pilar.

Di tengah kondisi seperti ini, menjadi menarik inisiatif ATKI dan IMWU untuk membentuk sebuah aliansi bersama yang juga melibatkan 36 organisasi lainnya, termasuk organisasi bidang seni budaya dan organisasi keagamaan.

Meski aliansi baru yang terbentuk di City University hari Minggu tersebut terbatas pada aliansi untuk mendesak pencabutan UU No.39/2004 dan ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Segenap Anggota Keluarganya, tapi ia menjadi babak baru dalam persatuan gerakan buruh migran Indonesia di Hong Kong.

Penggerak
Dinamika yang terjadi dalam gerakan buruh migran Indonesia di Hong Kong ini punya arti cukup penting dalam penguatan gerakan buruh migran Indonesia secara keseluruhan.

Sejumlah kalangan yang menaruh perhatian terhadap masalah BMI, bahkan melihat Hong Kong sebagai pintu masuk dan sekaligus penggerak bagi lahirnya kesadaran pekerja migran, baik dalam tataran sosial maupun politik.

Analisa ini muncul karena melihat Hong Kong cukup kondusif bagi lahirnya organisasi-organisasi BMI. Kebijakan pemerintah Hong Kong yang mengakui pekerja rumah tangga asing sebagai tenaga kerja, memungkinkan BMI memiliki hak libur sekali dalam sepekan dan juga hak berorganisasi. Ini membuat kerja-kerja pengorganisiran dan penyadaran soal hak-hak BMI menjadi tak serumit negara tujuan BMI lainnya, seperti Timur Tengah atau Malaysia.

Dan penyadaran soal hak-hak BMI kini meluas di Hong Kong dalam banyak bentuk. Tak hanya dalam forum diskusi atau aksi massa, tapi melalui selebaran dan bulletin internal, kelompok kepenulisan, artikel yang dikirim BMI ke media massa, panggung hiburan dan peragaan busana, forum pengajian, dan sebagainya.

Gerakan penyadaran BMI pada akhirnya menjadi tanggung jawab yang dipikul bersama. Sehingga tak ada lagi yang merasa perlu menepuk diri untuk menyebut diri paling berjasa dalam pembangunan kesadaran di kalangan BMI.

Meluasnya kesadaran inilah yang diharapkan akan mencapai negara-negara tujuan lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Timur Tengah, dan lain-lain.

Dan tentu saja, terpenting, adalah tumbuhnya kesadaran yang sama di Indonesia. Baik di kalangan mantan buruh migran dan anggota keluarganya, maupun di sektor masyarakat lainnya. Karena bagaimanapun, masalah buruh migran muncul jalin menjalin dengan persoalan kemiskinan di tanah air, para petani yang kehilangan sawahnya karena dijadikan lahan perkebunan, upah buruh yang tak memenuhi standar kehidupan minimum, para gelandangan yang memenuhi kota karena kehilangan rumah dan pekerjaan, dan juga mahasiswa yang bakal jadi penggangguran dengan ijazah sarjananya karena negara tak cukup menyediakan lapangan kerja. Sementara bank milik negara maupun swasta hanya bersedia memberikan kredit kepada para pengusaha kakap.

Perjuangan untuk membuat para pekerja migran tak diperlakukan sebagai komoditas barang dagangan, pada akhirnya, tak bisa semata dilakukan oleh satu atau dua organisasi saja atau hanya oleh sektor buruh migran saja. Tapi harus menjadi kerja bersama dari aliansi yang luas dan melibatkan sektor rakyat lainnya.