Kamis, 24 November 2011

BMI "Undocumneted" Meninggal Setelah di Tangkap Polisi


KBRN, Sumenep : Untuk ketiga kalinya selama satu bulan ini salah seorang TKI asal Sumenep kembali tewas di tempat perantauan. Kalau sebelumnya 2 orang TKI Tewas di Malaysia, kali ini  satu orang TKI yakni Moh Saleh ( 52 th)  warga desa Muncek Barat, Kecamatan Lenteng, tewas di Arab Saudi.
Humas Asosiasi ATKI Madura, Efendi yang juga tetangga korban,  menuturkan, pihak keluarga di Madura masih belum tahu kronologis yang sebenarnya, karena jenazah korban tidak dibawa pulang ke Madura, melainkan langsung dikebumikan di Arab Saudi. Hal itu disebabkan Moh. Saleh tidak memiliki dokumen resmi dan yang bersangkutan tewas setelah sebelumnya ditangkap polisi Arab Saudi, kemudian saat menjalani pemeriksaan yang bersangkutan tewas.

Menurut Efendi, meskipun yang bersangkutan tidak memiliki documen, namun pihaknya akan berupaya menelusuri penyebab sebenarnya, dan ia berharap agar ada perhatian juga dari pemerintah terhadap banyaknya TKI tidak berdokumen yang tewas saat menjadi pahlawan devisa.
"Kita mendesak pemerintah dan Pemkab Sumenep serius melakuan pendataan dan sosialisasi secara langsung kepada warga, agar mereka sadar betapa pentingnya berangkat secara legal, karena selama ini sosialisasi cuma dilakukan dari dinas ke dinas dan terkesan ceremonial saja," ujarnya, Rabu (23/11).
Sementara itu Kabid Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sumenep Fatah Zamani menegaskan, hingga saat ini yang terdata secara resmi menjadi TKI hanya 30 orang, sedangkan untuk 3 orang yang tewas tersebut masih belum ada laporan resmi, baik dari kepala desa maupun dari kedutaan.

"Kami belum tahu pak, karena tidak ada laporan, baik dari kepala desa, maupun dari kedutaan," akunya.
Sementara untuk sosialisasi, Dinas Tenaga Kerja, kata Fatah Zamani, sudah sering melakukan meskipun anggarannya terbatas, namun terhadap semua TKI yang dideportasi dan mampir ke dinas  pasti dibsringan pengarahan termasuk uang saku.

Sebelumnya, tanggal 1 November lalu  Rosi (52 th)  warga Aeng Tongtogn Kecamatan Saronggi tewas di Malaysia,  kemudian tanggal 15 November Subairi ( 20 th) warga  Bila pora Timur Kecamatan Ganding, juga tewas di Malaysia. Terakhir, Moh Saleh Warga Muncek Barat kecamatan Lenteng Tewas di Arab Saudi. 



http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/4611

Curhatan dari kawan Facebook, Irwan Jm

curhat dong mah!!!
bagiku indonesia negri yg aneh dgn segudang masalah dr atas sampai kebwh.
rasanya susah cr pemimpin yg cocok untuk memimpin bangsa ini.
negri yg kaya akan sumber daya alam yg melimpah entah kenapa yg mengambil itu semua bukan kita ,kita hnya menikmati hasil kerusakannya ohh nasib atau memang sudah takdir kita yg gemar untuk di jajah .
mencari pekerjaanpun susahnyaa minta ampun ,sudah kerja msh ajja di peras.,oh nasib .
mencari pekerjaan di nergi sdri ajja susah ....gim dong oh nasib
kerja diluar negri bnyk bngt birokrasi2 yg memeras keringat uang kita ,mau jd apa aku ni oh nasib.
pngen jd tki bingung ,dgn agency2 yg minta uang panas dulu ..oh nasib
bolak balik ke xxxxxx......
tnyain ada kerjaan pak jd tki di luar negri ,jwb nya oh bnyk sekali tp km daftar dulu ke agen trus km bayar ya sebagai uang untuk mengurusi data km brapaa pak jwb nya ga mahal kok cuma beberapa juta saja ,oh gitu ,trus jaminan keseelamatan kerja gim ,oh itu mah sdh di atur km santai ajja disana ..oh gitu ya pak ..ooohhhhh nasib.
bingung dgerin bpk ceramah ,orang mau kerja kok byar dulu..??xixixi...
yang gratis ada ga pak ???
gratis emang perusahaan nenekmu? sana kau cari yg lain saja aku lg sibuk kata si pak tua ..
oh nasib...
kesimpulannya:
apa perlu jual tanah ?
apa perlu aku ikut program KUR untuk menolong keuangan ku?
xixixixixi... curhat yg aneh
besok di sambung lg yach..

“Indonesian Migrant Workers Faced Exploitation and Violence by the State”


We are workers! We are not slaves!

Expose and Oppose US Imperialism and the Puppet-Regime of SBY-Boediono!

Stop Violence Against Women and Women Migrant Workers!

 “The wound of Sumiati is severe. Some scorches are found on her body. Both legs are merely crippled, all skin of her body and head peel, the middle finger is broken, the eyeshadow is damaged. Moreover worse, the upper lip is gone with seemingly scissors-left cut.”

Since 1970’s many Indonesian people have migrated. Their destination was Middle East which in the mean time experienced ‘oil boom’. The region needed many cheap labours. Indonesian men were targeted to be recrueted, without anytransparant working conditions. Meanwhile through 1980’s women, too, were then targeted to be migrated as domestic workers. Actually that was the time when placement regulation were made, but without any protection for those Indonesian migrant workers.

Currently, women become the icon of Indonesian migration, for almost 80% of the whole number of those who migrated are women. Why women? It is because Indonesia as a semi colonial and semi feodal patriachal country, women becomes the main source of cheap labour.

In receiving countries, they work mostly in the sector of Domestic Workers, and they work under bad conditions namely without any safety nor any rights; many of them confronted with violence, riskying receiving no payment. Otherwise they receive less salary for paying their placement-fee which are rocketing. While they are being trapped in a vicious debt-bondage, they are vulnerable for rape, verbal abuses, death penalty for being accused to kill their employer because of self defend from violation by their employer. Some of them are dead mysteriously.

November 25th marks an International Day for the Elimination of Violence Against Women, as declared by UN in 1999, in order to end the gender-based violence.
In commemorating this very event, we should remember the violence experienced by our sisters whom are migrant workers and have experienced severe violence, i.a.: Nirmala Bonat, Sumiyati, Rumiyati (beheaded), tuti Tursilawati and other million women migrant workers riskying to be beheaded, otherwise traped in the vicious debt-bondage, intimidation, and verbal abuses. As noted there are at the moment ca. 300 migrant workers whom are threathened to be executed. In 2010 there were 69.004 kinds of case faced by Indonesian migrant workers. (source: Directorate Protection of Indonesian Citizens/Ministry of Foreign Affairs, RI).
Photo: Sumiyati, Indonesia Migrant Workers Violation by Google Collection

The high numbers of violence faced by women migrant workers takes place for the ignorance of the Indonesian government as regards such cases. Migration matters is then merely a matter for gaining advantage, namely a means aiming to collect as much devisa as possible, so that Indonesian migration should be considered significantly if the placement is increasing year by year. Though the Indonesian government issues frequently policies on ‘protection’ for migrant workers, they never touch genuine protection as needed by Indonesian workers working abroad. Moreover, such policies are used for extortion those Indonesian Migrant Workers
 (Photo:Editing Insert is Ruyati (Beheaded)and Indonesian migrant workers under Khandara bridge in Saudi Arabia.by Google Image)

In 2006 a High Level Dialogue conference was held involving member states of UN, talking especially on Migration and Development or better known as the Global Forum on Migration and Development (GFMD). This forum is refering to the importance of migration as it is benefitted to the developing (sending) countries and to the developed (destined) countries as well, as far as the devisa through exporting human is concerned. This devisa can be located as financial sources for paying back the debt of the developing countries to the imperialist countries which are at the moment in deep crisis.
Then, still in the same year, the SBY-Boediono rezim administration released regulations adjusted to a more condusive climate for inviting investment, by changing the system of placement, which expected to path the way for increasing the number of exporting cheap labour.

In 2009 SBY-Boediono stated that there were 3 promising sectors to be activated in responding the crisis in Indonesia. These were Tourism, Hand craft products and Migrant workers. Now in 2011 they prioritise some agenda’s to improve the law with respect to Placement and protection of Indonesian migrant workers No. 39 of 2004, which is now considered not effective for achieving the maximum annual target of 1 – 2 millions export.
Today worldly monopoly of capitalist system or imperialism under US leadership is in deeply and worsoning crisis after the Great Depression. Therefore many efforts are made by imperialism in order to put the crisis onto the burdon of colonial and semi-colonial countries such as Indonesia through increasing bilateral and multilateral cooperations. One of the scheme is working out the creation of global market absorbing over production brought about by imperialist, and human export or sending more migrant workers with the objective to cut their salaries through government policies.

The above-mentioned scheme shall of course be supported by the puppet regime in the country, created by the US imperialism, so that the imperialism can easily intensify the exploitation and repression on people all over the world. This is also the case referring the puppet regime SBY-Boediono by creating a variety of policies or regulations which can weaken the people’s movement, included resistent movement of migrant workers in Indonesia by way of union busting such as UU PPTKILN 39 of 2004. These do not give protection as needed by migrant workers and their families, and there is no freedom for association. The existing new act on Intelligence with severe intimidation measurements, repression and forced dissapearance towards any people resistent movement, seen as ‘terrorism’. This becomes the shape of generating policies as a task by imperialism to semi colonial and their colonial, in fighting against anti- imperialist movement to the attack on any people’s movement by exploiting people movement, by decreasing the subject “WAR & TERROR”. This is indeed the fascist character of the present imperialist puppet regime.

The SBY-Boediono can be known not only through its fascist character, but also because of the corruption while cutting people’s money which is proven by their very trusted man and ministers such as those involved in the series of scandals surrounding BLBI, Bank Century, Nazarudin (the treasury of the Democrat party in power) and the new one is the corruption taken place in the Ministry of Labour Force and Transmigration and involving the minister himself, Muhaimin Iskandar, as far as the fund for accelerating the construction of infrastructure in transmigration area, is concerned.

And up to now, corruption-case as done by the inner circle and ministers have never been finalised. These indicate the character of the SBY-Boediono regime for being fascist anti-people and corrupt. A puppet and selfish regime instead of people-oriented one.

This happens because of the existing system which Indonesia faces, namely the semi colonial and semi feudal. The semi colonial facet implies that imperialism under US leadership colonises and intervenes Indonesia through the puppet regime of SBY-Boediono. Policies they produce seem to get the legitimation of the people. And this is valided by the semi feudal system, which implies the agrarian character of the country. Major economic activities as reflected in the mode of production is based on the land, such as paddy-field, plantation etc which should be in the hand of all people. In fact this very means of production, refering to vast areas of land, are monopolised and occupied by the landlord (semi feudal): those individual landlords, the state and even the imperialists themselves. These landlords cooperate with the Burreaucrat of capitalism for making the way smoothly while grabbing the land, mainly in the country sides.

Indeed the family background of those Indonesian migrant workers are majority peasant, whose works are merely depended on land, but they themselves have no land; whom also face many hindrances in tilling the land, so that they go to cities as an option for survive. They realise in the end that there are merely jobs there. Otherwise they should be satisfied with the payment under the minimum wage and surely not suited to the minimum proper living. The only other option is then being migrant workers, eventhough working abroad without guarantee for protection from the government.

Such a condition shows the real problem faced by Migrant Workers: no jobs in the country as work, wage, and land grabbing taken away by the imperialism with the help of the existing puppet regime SBY-Boediono. There is no other way for the people especially those migrant workers except to resist and fight together with the oppressed people by getting organised. This is the way how they struggle for their rights which are taken away. Otherwise they cannot get rid of the exploitation constituted by the greedy power of the monopoly capitalist (imperialist) and the puppet regime in the country as the leaky of imperialism. Here, the only line of struggle characterises national democracy, so that the existing semi colonial and semi feudal in Indonesia can be destryoid.

So long this country adopts the semi colonial and semi feudal system, and under the fascist and corrupt regime, the problem of violence and plundering faced by migrant workers and their families would of course never over come. And all efforts to shut and crack down people movement would of course increase.

Based on the objective situation as described above, the Association of Indonesian Migrant Workers Force states that the Indonesian government under Susilo Bambang Yudhoyono and Boediono, is responsible for all violence and plundering faced by Indonesian migrant workers in general sense, and by Indonesian women migrant workers in particulary

Demands:
1.      The puppet regime under SBY-Boediono must take responsibility for all cases of violence faced by women, especially those Indonesian migrant workers.
2.      SBY-Boediono must immediately ratify UN Convention 1990 concerning the Protection Rights of Migrant Workers and their Families.
3.      SBY-Boediono must immediately revoce Law Placement and Protection Indonesian Migrant Workers Abroad no. 39 of 2004, and should soonly design the national law for the genuine protection of Indonesian Migrant Workers and their Families.
4.      SBY-Boediono must immediately stop the excessive placement fee which is fammiliar as ‘Overcharging’.
5.      SBY-Boediono must also immediately put an end to the plundering Special Terminal for Indonesian Migrant Workers at the Soekarno-Hatta airport and similar Terminal at other airports throughout the country.

Long Live Indonesian Migrant Workers!
Long Live Indonesian Women!
Long Live International Solidarity!

Rabu, 23 November 2011

Memperingati Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan "25 November"

”Negara Telah Melakukan Pemerasan dan Kekerasan Terhadap Buruh Migran Indonesia”

Kami Pekerja! , Kami Bukan Budak!

Lawan  dan Blejeti Imperialisme AS dan Rezim Boneka SBY-Bodiono!
Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan!

Luka Sumiati sangat parah. Tubuhnya mengalami luka bakar di beberapa titik. Kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak. Dan yang lebih parah, bibir bagian atasnya hilang seperti bekas guntingan.

Sejak tahun 1970-an telah terjadi Migrasi dari rakyat Indonesia. Tujuan dari Migrasi tersebut adalah Timur Tengah yang sedang mengalami ‘booming oil’ sehingga membutuhkan pasokan tenaga kerja murah yang cukup banyak dan sasaran dari perekrutan adalah buruh migran laki-laki, yang tidak ada aturan yang mengikat terhadap buruh migran tersebut. Namun, pada tahun 1980-an perekrutan menyasar buruh migran perempuan untuk di tempatkan sebagai pekerja rumah tangga. Dimana pada tahun tersebut mulai muncul peraturan tentang penempatan yang tidak mengakomodasi tentang perlindungan buruh migran Indonesia.

Hingga sekarang gambaran wajah dari migrasi yang terjadi di Indonesia adalah migrasi yang berwajah perempuan, karena hampir dari 80% dari total migrasi di Indonesia adalah perempuan. Kenapa perempuan, karena perempuan di Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal patriarkal adalah sumber pekerja upah murah.

Mayoritas dari mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri, dan bekerja dalam kondisi yang tidak ada jaminan untuk keselamatan mereka, tidak ada jaminan untuk hak-hak mereka, bahkan tidak sedikit dari buruh migran perempuan yang menghadapi kasus-kasus kekerasan, gaji tidak di bayar, membayar biaya penempatan yang sangat tinggi melalui pemotongan gaji, perbudakan hutang, diperkosa, dihina, menghadapi hukuman mati karena dakwaan membunuh majikan, hingga mati misterius.

25 November ditandai sebagai Hari  International untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1999 dalam kebutuhan untuk mengakhiri kekerasan yang berbasis jender.
Saat memperingati hari ini, hendaknya kita mengingat kekerasan yang dialami saudara perempuan kita yang menjadi buruh migran dan mengalami kekerasan seperti Nirmala Bonat, Sumiyati, Rumiyati yang dipenggal kepalanya, Tuti Tursilawati, dan jutaan buruh migran perempuan yang sedang menghadapi hukuman pancung, hidup dalam lilitan hutang, intimidasi, penghinaan. Tercatat hingga hari ini sekitar angka 300 buruh migran dalam ancaman hukuman mati. Pada tahun 2010 terjadi 69.004 kasus dengan berbagai jenis kasus yang dihadapi oleh buruh migran Indonesia. (sumber Dit. Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu RI).


Foto: diambil dari google gambar

Maraknya kasus kekerasan yang dialami oleh buruh migran perempuan terjadi karena pembiaran oleh pemerintah Indonesia atas situasi tersebut. Persoalan migrasi tidak lain hanya sebagai cara untuk dapat mengambil keuntungan dari proses tersebut yaitu keuntungan mendapatkan devisa sebanyak-banyaknya, sehingga orientasi terhadap migrasi di Indonesia hanya dipandang berhasil jika penempatan yang signifikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Meskipun Pemerintah Indonesia sering kali mengeluarkan produk kebijakan dengan mengatasnamakan ‘perlindungan’ terhadap buruh migran, tetapi ‘perlindungan’ yang mereka bicarakan adalah bukan perlindungan yang dibutuhkan oleh buruh migran Indonesia, bahkan atas nama perlindungan orientasi dari sebuah kebijakan hanya berujung pemerasan terhadap buruh migran Indonesia.



 (Foto: para Tenaga Kerja Wanita Indonesia. Sumber: Google Image + Editing Insert)

Pada tahun 2006 terselenggarakan Konfrensi Tingkat Tinggi negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membicarakan khusus tentang Migrasi dan Pembangunan atau Global Forum on Migration and Development (GFMD). Forum ini membicarakan tentang pentingnya migrasi karena bisa menguntungkan bagi negara-negara terbelakang sebagai negara pengirim dan bagi negara-negara berkembang atau maju sebagai negara tujuan, karena penghasilan devisa yang bisa dihasilakan dari proses ekspor manusia. Dimana devisa tersebut bisa dijadikan sumber atau alat untuk pembayaran hutang oleh negara-negara terbelakang pada negara maju atau kepada Imperialisme yang hari ini sedang mengalami krisis.

Kemudian pada tahun yang sama, Pemerintahan SBY-Boediono mengeluarkan peraturan yang mengarah pada perbaikan iklim investasi dengan merubah sistem penempatan yang diharapkan dapat memudahkan dalam peningkatan pengiriman tenaga kerja murah ke luar negeri.
Tahun 2009, SBY-Boediono menyatakan ada 3 sektor yang bisa diandalkan dalam penanganan krisis di Indonesia, yaitu Pariwisata, Kerajinan Tangan, dan TKI. Sehingga pada tahun 2011 pun disegerakan dalam agenda untuk memperbaiki Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri No. 39 tahun 2004, yang selama ini dianggap belum mampu memenuhi targetan pengiriman maksimal yaitu 1-2juta per tahun

Hari ini sistem kapitalis monopoli dunia atau Imperialisme yang dipimpin oleh AS sedang mengalami krisis yang semakin buruk sejak Depresi Berat yang dialaminya. Sehingga berbagai upaya yang dilakukan oleh Imperialisme untuk membesakan krisis di dalam tubuhnya sendiri dengan meningkatkan kerjasama-kerjasama bilateral dan  multilateral yang bertujuan untuk melimpahkan krisisnya kenegara jajahan dan setengah jajahannya seperti Indonesia dengan berbagai skema, salah satunya dengan menciptakan pasar global sebagai sasaran barang-barang over produksi yang dihasilkan Imperialis, dan ekspor manusia atau pengiriman Buruh migrant yang bertujuan untuk merampas upah dari buruh migrant melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Tentu skema diatas tersebut akan didukung oleh para rezim boneka dalam negeri yang diciptakan oleh imperialisme AS agar dengan mudah imperialisme mengintensifkan penghisapan dan penindasan terhadap rakyat di dunia, seperti rezim boneka SBY-Boediono dengan jalan menciptakan bermacam bentuk kebijakan atau regulasi yang dapat melemahkan gerakan rakyat termasuk gerakan perlawanan buruh migran di Indonesia melalui pemberangusan serikat buruh, seperti UU PPTKILN 39 Tahun 2004 yang tidak memberikan perlindungan bagi buruh migran dan tidak ada kebebasan berserikat bagi buruh migrant dan keluarganya, serta regulasi yang terbaru yaitu UU Intelijen yang sarat dengan tindakan intimidasi, represifitas dan sampai pada penghilangan paksa terhadap setiap gerakan perlawanan rakyat yang dianggap ‘terorisme’, ini merupakan bentuk wujud dari turunan kebijakan yang diwajibkan oleh Imperialisme kepada negeri setengah jajahan dan jajahannya dalam memerangi setiap gerakan rakyat dengan mengatasnamakan memerangi ‘WAR & TERROR’. Ini adalah bentuk watak rezim boneka imperialisme yang fasis.

Selain rezim yang fasis, SBY-Boediono merupakan rezim yang korup perampas uang rakyat terbukti orang kepercayaan dan para menteri yang saat ini dibawah kekuasaan SBY-Boediono telah melakukan korupsi, sehingga merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar, seperti kasus BLBI, Bank Century, Nazarudin bendahara partai Demokrat dan yang terbaru korupsi di KEMNAKERTRANS yang menarik nama Muhaimin Iskandar dan beberapa orang yang ada didalamnya, yang terlibat kasus dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi.
Dan sampai saat ini kasus korupsi yang dilakukan oleh para orang terdekat dan para menteri tidak terselesaikan dengan baik. Hal ini adalah bukti bahwa SBY-Boediono adalah rezim anti rakyat yang fasis dan korup. Rezim yang mementingkan tuan dan golongannya dari pada mementingkan rakyat.
Hal tersebut terjadi karena adanya sistem setengah jajahan dan setengah feodal di Indonesia, letak setengah jajahannya bahwa imperialisme saat ini yang dipimpin oleh AS menjajah dan mengintervensi di Indonesia dengan cara menciptakan rezim boneka dalam negeri yaitu SBY-Boediono melalui kebijakan agar dapat legitimasi ditengah takyat. Kemudian diperkuat dengan sistem setengah feodal  dimana Indonesia merupakan negeri agraris yang corak ekonomi produksinya disandarkan atas tanah seperti sawah, ladang dan lainnya yang seharusnya dimiliki oleh seluruh rakyat akan tetapi saat ini tanah tersebut dimonopoli dan dikuasai oleh para tuan tanah (setengah feodal) dengan jumlah yang sangat besar, baik oleh para tuan tanah dalam bentuk peseorangan sampai negara dan bahkan Imperialisme sendiri, para tuan tanah tersebut bekerjasama dengan  Kapitalisme birokrasi (kapital birokrat) untuk semakin memudahkan skema perampasan tanah yang dilakukan oleh para tuan tanah terutama dipedesaan.

Sedangkan latar belakang keluarga para Buruh Migran Indonesia mayoritas adalah Petani yang pekerjaannya disandarkan atas tanah, selain tidak memiliki tanah, mereka juga mengalami berbagai kesulitan dalam mengelola tanahnya, sehingga melakukan urbanisasi ke kota sebagai pilihan agar tetap dapat bertahan hidup, namun pekerjaan dikota tidaklah mudah didapatkan selain upah dibawah Upah Minimum Kerja (UMK), juga tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) manusia. Maka tidak ada pilihan lagi bagi mereka untuk bekerja diluar negeri menjadi Buruh Migrant meskipun para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri tidak dapat perlindungan yang pasti dari pemerintah.

Kondisi tersebut sangat jelas bahwa problem pokok para Buruh Migrant adalah tidak adanya lapangan pekerjaan di dalam negeri karena terjadinya perampasan upah, tanah dan kerja yang dilakukan oleh Imperialisme dan rezim boneka dalam negeri yang saat ini adalah SBY-Boediono. Maka tidak ada jalan lain bagi seluruh rakyat dan khusunya bagi buruh migrant untuk melakukan perlawanan bersama rakyat tertindas lainnya dengan cara mengorganisasikan dirinya, karena dengan alat tersebut mereka mendapatkan hak-haknya sebagai buruh migrant yang terampas dan terhisap oleh kekuasaan rakus kapitalis monopoli (Imperilisme) dan rezim boneka dalam negeri sebagai kepanjangan tangan dari imperialisme. Dan hanya dengan garis perjuangan berkarakter demokratis nasional sistem setengah jajahan dan setengah feodal di Indonesia dapat dihancurkan.

Maka ketika negeri ini masih langgeng dengan sistem setengah jajahan dan setengah feodal, serta dibawah kepemimpinan rezim yang fasis dan korup. Tentu, persoalan kekerasan dan pemerasan terhadap buruh migran dan keluarganya tidak akan pernah terselesaikan. Dan upaya-upaya untuk pembungkaman terhadap gerakan rakyat akan semakin meningkat.

Atas situasi objektif diatas kami Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia menyatakan kepada Pemerintahan Indonesia di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, untuk bertanggung jawab atas segala Kekerasan dan Perampasan yang dihadapi oleh Buruh Migran Indonesia pada umumnya dan Buruh Migran Indonesia Perempuan  pada khususnya.

Menuntut:
1.      SBY- Bodiono sebagai rezim boneka Imperialisme AS dan rezim fasis dan korup untuk bertanggung jawab atas persoalan dan kekerasan terhadap perempuan khususnya Buruh Migran Indonesia.
2.      SBY-Boediono harus segera meratifikasi atau mengesahkan Konvensi PBB 1990 untuk Perlindungan Hak BMI dan Keluarganya.
3.      SBY-Boediono harus segera mencabut UUPPTKILN No.39 tahun 2004, dan segera membentuk undang-undang yang melindungi hak-hak BMI dan Keluarganya.
4.      SBY-Boediono harus segera menghapuskan biaya penempatan yang terlalu tinggi (Overcharging)
5.      SBY-Boediono harus segera membubarkan Terminal pemerasan TKI di Bandar Udara Soekarno Hatta(Terminal Khusus TKI ) dan bandar udara lainnya.


Hidup Buruh Migran Indonesia!
Hidup Perempuan Indonesia!
Hidup Solidaritas Internasional!







Sabtu, 05 November 2011

Aliansi Tolak Hukuman Mati BMI

TRAGEDI HUKUMAN MATI BURUH MIGRAN INDONESIA

Marah, geram dan rasa tidak percaya menyeruak menyesakkan dada, nyawa seolah-olah tidak lagi ada harganya. Bukankah nyawa adalah hak dasar yang diberikan oleh-Nya dan melekat pada setiap diri manusia? Bukankah Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik juga memberikan perlindungan terhadap Hak untuk Hidup (right to life)? Sehebat itukah kuasa Saudi Arabia, sehingga berhak memenggal kepala seorang manusia dan mengakhiri kehidupannya didunia?

Proses hukuman mati pada awalnya didasarkan pada upaya untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan pidana. Dalam berbagai kasus, banyak residivis yang berulang kali melakukan kejahatan berat meskipun telah mendapatkan hukuman penjara yang lama. Memberikan hukuman mati dianggap sebagai salah satu jalan untuk memberi efek jera, agar kejadian serupa tidak terulang dimasa mendatang.

Namun alasan ini tidak seutuhnya benar. Berbagai studi secara ilmiah menunjukkan hukuman mati tidak mempunyai dampak yang signifikan dalam mengurangi kejahatan. Sebagai contoh nyata adalah kejahatan terorisme yang terjadi di Indonesia, meski beberapa pelaku sebelumnya telah dihukum mati namun upaya terror masih saja terjadi hingga sekarang. Begitupun hukuman mati atas kejahatan psikotropika, ternyata hukuman mati juga tidak menyurutkan praktek peredaran narkotika di Indonesia.  

Tidak satupun manusia terlahir didunia berkeinginan menjadi seorang pembunuh, pun demikian dengan Ruyati, kepergiannya bekerja ke Arab Saudi lebih karena usaha memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, sama sekali tidak ada keinginan untuk menjadi seorang pembunuh. Hal ini bisa dibuktikan, saat pertama kali bekerja di Saudi Arabia, Ruyati bertahan hingga 6 (enam) tahun, keberangkatan kedua 5 (lima) tahun, dan keberangkatan ketiga yang baru berjalan 1,4 tahun ini mengantarkan Ruyati untuk meninggalkan keluarganya di Indonesia untuk selama-lamanya.

Hukuman mati telah menjadi sebuah perdebatan lama dikalangan internasional. Sampai pada bulan Juni 2006, tinggal 68 negara didunia yang masih mempraktekkan hukuman mati, termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, secara de jure terdapat 96 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 8 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 50 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan masih tersisa 43 negara yang belum menghapuskan hukuman mati, dengan 18 negara masih mengimplementasikannya pada tahun 2009.

Atas kasus yang menimpa Ruyati binti Satubi pada Juni lalu, tentu saja kita merasa marah atas tindakan yang dilakukan pemerintah Arab Saudi, karena mereka tidak menghargai kerjasama yang terbangun harmonis diantara kedua negara selama ini. Pencabutan nyawa-nyawa buruh migran Indonesia yang dilakukan Pemerintahan Arab Saudi atas nama keadilan adalah tamparan keras bagi bangsa kita, pemerintah Arab Saudi telah benar-benar tidak menghargai kedaulatan Indonesia.

Betapa tidak, seluruh delegasi dari berbagai penjuru dunia memberikan standing ovation ketika SBY berpidato didepan sidang ILO ke-100 yang bicara tentang perlindungan terhadap hak-hak pekerja migrant, demikian pula pada 28 Mei 2011, pemerintah Indonesia dan Arab Saudi telah menandatangani sebuah nota awal menuju MoU untuk perbaikan perlindungan BMI. Dua moment tersebut dianggap tidak pernah ada bagi pemerintahan Arab Saudi, dan hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia pun tetap saja dilaksanakan.

Menyalahkan pemerintah Saudi Arabia semata tanpa mencoba melihat peran pemerintah Indonesia tentu saja tidak sepenuhnya tepat. Kelambanan pemerintah RI dalam merespon ancaman hukuman mati yang dihadapi oleh warga negaranya adalah salah satu factor sehingga nyawa ribuan buruh migran Indonesia tidak dapat diselamatkan. Saat ini, 303 orang warga negara Indonesia juga menghadapi ancaman hukuman mati, 233 orang di Malaysia, 29 orang di China dan 28 orang di Saudi Arabia. Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan cepat, tragedy serupa yang dialami Ruyati binti Satubi kemungkinan besar akan menimpa Tuti Tursilawati dan BMI lainnya.

Perbaikan system dan kebijakan yang mengatur tentang tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri mutlak dilaksanakan. Perbaikan tersebut harus menempatkan pengakuan dan perlindungan atas hak dan kepentingan buruh migrant Indonesia sebagai elemen yang fundamental dan tidak bisa ditawar lagi. Disamping itu, pemerintah Indonesia harus mengoptimalkan upaya-upaya diplomatic yang dimilikinya, mengupayakan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa warga negaranya. Tentu saja, kita tidak ingin lagi mendengar pemerintah “bertameng” dan menyerah ketika menghadapi rigiditas hukum negara lain.

Jalan lain yang dapat membantu meningkatkan diplomasi pemerintah Indonesia adalah dengan segera turut serta secara de jure menghapuskan hukuman mati. Tentu posisi Indonesia akan menjadi lemah untuk meminta pembatalan atas hukuman mati yang dihadapi oleh warga negara Indonesia ketika pemerintah kita sendiri masih menerapkan hukuman mati dalam system hukum nasional di Indonesia. Kita juga belum melihat adanya satu upaya dari pemerintah Indonesia untuk menggalang dukungan yang luas dari dunia internasional, meminta negara-negara lain serta organisasi internasional yang juga mengusung kampanye penolakan terhadap hukuman mati membantu menyelamatkan nyawa warga negara Indonesia.

Pada akhirnya, semua tentu sepakat dan berharap bahwa kasus yang menimpa Ruyati harus menjadi yang terakhir. Dimanapun warga negara Indonesia berada, apapun pekerjaan dia, menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan jaminan perlindungan yang maksimal bagi seluruh rakyatnya.


ATKI (Indonesia, Hongkong, Taiwan, Macau), SBMI, IMWU, GAMMI,LIPMI, PILAR, IFN dan organisasi lainnya yang mendukung Aliansi Tolak Hukuman Mati terhadap BMI   

Kamis, 23 Juni 2011

“Pidato Presiden SBY merupakan Bukti kegagalan Pemerintahan SBY-Boediono melindungi BMI”


Setelah lewat dari 5 hari pemerintah baru bisa menyikapi pemancungan TKW Ruyati binti Satubi di Arab Saudi. Presiden SBY beserta tiga Menterinya, yaitu Menteri luar negeri Marty Nata Legawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Ketenagakerjaan Muhaimin Iskandar berpidato di Istana Merdeka 23 Juni 2011 di saksikan langsung oleh jutaan penduduk Indonesia baik di dalam maupun luar negeri.

Permintaan Presiden untuk memahami dipancungnya TKW Ruyati sebagai ‘musibah’ dan pemakluman kepada Hukum di Negara lain tidak terkecuali Arab Saudi. Menurut Presiden pemancungan ini bisa menimpa siapa saja dan setiap Negara bisa melakukan itu. 

Presiden juga tidak bisa  memberikan janjinya untuk memulangkan jenazah Ruyati. Sangat mengecewakan dan bersilat lidah, tidak seharusnya sebagai orang nomor 1 di Indonesia penanggungjawabannya hanya sebatas menyalahkan Negara penempatan yang memancung warga Negaranya. Tapi tidak pada penyampaian langkah konkret untuk memberikan perlidungan terhadap BMI dan segera memulangkan Zenajah Ruyati binti Satubi.