Kamis, 23 Juni 2011

“Pidato Presiden SBY merupakan Bukti kegagalan Pemerintahan SBY-Boediono melindungi BMI”


Setelah lewat dari 5 hari pemerintah baru bisa menyikapi pemancungan TKW Ruyati binti Satubi di Arab Saudi. Presiden SBY beserta tiga Menterinya, yaitu Menteri luar negeri Marty Nata Legawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Ketenagakerjaan Muhaimin Iskandar berpidato di Istana Merdeka 23 Juni 2011 di saksikan langsung oleh jutaan penduduk Indonesia baik di dalam maupun luar negeri.

Permintaan Presiden untuk memahami dipancungnya TKW Ruyati sebagai ‘musibah’ dan pemakluman kepada Hukum di Negara lain tidak terkecuali Arab Saudi. Menurut Presiden pemancungan ini bisa menimpa siapa saja dan setiap Negara bisa melakukan itu. 

Presiden juga tidak bisa  memberikan janjinya untuk memulangkan jenazah Ruyati. Sangat mengecewakan dan bersilat lidah, tidak seharusnya sebagai orang nomor 1 di Indonesia penanggungjawabannya hanya sebatas menyalahkan Negara penempatan yang memancung warga Negaranya. Tapi tidak pada penyampaian langkah konkret untuk memberikan perlidungan terhadap BMI dan segera memulangkan Zenajah Ruyati binti Satubi.

Senin, 20 Juni 2011

Pemerintah RI mengirim BMI ke “Tanah Rimba” Arab Saudi


Lagi, pilu melanda Indonesia. Meninggalnya Buruh Migran Indonesia di Arab Saudi, Ruyati(54) asal Sukatani, Bekasi yang dihukum pancung karena mengakui telah membunuh majikannya yang kerap melakukan kekerasan terhadap Ruyati.
 Lebih menyakitkan lagi, membaca pernyataan sikap dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono  menanggapi eksekusi pancung terhadap Ruyati dengan ringan, seolah-olah menyerahkan nasib buruh migran ketangan Pemerintahan Arab Saudi yang memberlakukan “hukum rimba” bagi buruh migran Indonesia.
Seharusnya Pemerintah Indonesia segera sadar, bahwa hukum pancung yang diterima oleh Ruyati adalah hasil dari kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sendiri.

 Jelas, terlampir didalam undang-undang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri No.39 tahun 2004. bahwa wajib hukumnya sebelum melakukan penempatan ke Luar Negeri, Indonesia harus melakukan perjanjian secara tertulis dengan negara penempatan. Seperti di Arab Saudi, meskipun pengiriman telah dilakuakan puluhan tahun lamanya, tetapi tidak ada perjanjian secara tertulis antara Indonesia-Arab Saudi untuk perlindungan Buruh Migran Indonesia. Artinya, pengiriman Tenaga Kerja Indonesia yang dilakukan Pemerintah Indonesia selama ini adalah pengiriman Ilegal.

 Sangat memalukan sekali pernyataan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI Mohamad Jumhur Hidayat, bahwa Ruyati harus menanggung dan menerima resiko hukum perburuhan di Arab Saudi karena telah melakukan tindakan pidana.

 Padahal jelas, selama ini pemerintah Arab Saudi tidak pernah mengakui hak-hak buruh migran Indonesia melalui hukum perburuhan yag berada di Arab Saudi. Kondisi ini semakin menjelaskan watak Pemerintahan Indonesia dan Arab Saudi yang menganggap buruh migran Indonesia adalah “budak dan barang dagangan”.

 Dengan ini kami dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Indonesia, Hongkong, Taiwan dan Macau menyatakan berbelasungkawa sedalam-dalamnya atas meninggalnya Saudari Ruyati yang menjadi korban kebijakan ekspor tenaga kerja Pemerintahan SBY-Boediono.
 Kami menuntut agar Pemerintahan SBY-Boediono segera minta maaf kepada keluarga besar Ruyati dan kepada seluruh Buruh Migran Indonesia yang sudah dilakukan sebagai barang dagangan!

 Kami menuntut agar Pemerintahan SBY-Boediono segera menggantikan undang-undang ekspor buruh migran(UUPPTKILN No.39/2004) dengan undang-undang yang pro terhadap perlindungan buruh migran dan melibatkan buruh migran didalam setiap pembuatan kebijakan yang terkait dengan buruh migran Indonesia 

Jakarta, 19 Juni 2011,
Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI)