Jumat, 13 Januari 2012

4 Ormas di Sumenep Bentuk Sekber Pemulihan Hak Rakyat

Jum'at , 13 Januari 2012 15:02:03
KBRN, Sumenep : Sedikitnya 4 elemen dari organisasi buruh, pemuda, dan mahasiswa di Madura melakukan aksi damai dengan pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber) dalam rangka menyikapi berbagai perampasah hak-hak rakyat oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Boediono.
Korlap aksi Ahmad Efendi menuturkan, Sekber segaja digagas karena selama ini banyak perampasan hak rakyat yang dilakukan pemerintah dengan berlindung dibalik kebijakan.
 
“Kalau tingkat nasional ada kasus Mesuji, dan kerusuhan Bima, di Madura ada juga perampasan tanah dengan alasan pengembangan wilayah Suramadu, termasuk perampasan dengan alasan pengeboran ekplorasi minyak dan yang lain-lain,” ungkapnya, Jumat (13/1).
Dengan kejadian itu, kata Efendy, sudah sangat jelas jika rezim SBY - Budiono lebih mengedepankan kaum kapiltasis, pemilik modal, dan dominasi asing, sementara untuk rakyat sendiri dibiarkan.

"Ormas ini kita bentuk agar kedepan hak rakyat, baik yang berkaitan dengan tanah dan upah bisa dinikmati, khusus di Sumenep kedepan akan dijadikan kawasan ekonomi khusus, sehingga perlu untuk dikawal," ujanrya.

Menurut Efendi dengan terbentuknya Sekber Pemulihan Hak Rakyat tersebut, langkah pertama yang akan dilekukan kedepan adalah pendataan tanah hak tanah atas rakyat, sehingga diharapkan semuanya akan menjadi jelas.

"Yang tergabung dengan kita Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia, Forum Mahasiswa Lenteng, Aliansi Pemuda Indonesia, Sanggar Rakyat Merdeka, serta Komunitas Pemuda Muncek. Sekretariat kita di jl Aditia no: 4 Perum Bumi Sumekar," pungkasnya. ( Moh. Rasikin/DS/AKS)
 http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/7351

Kamis, 12 Januari 2012

SBY-Boediono Rezim Fasis! Stop Perdagangan Tenaga Kerja Keluar Negeri !

FRONT PERJUANGAN RAKYAT- HONG KONG (FPR-HK)
C/o IMWU-HK, 4/F, Flat C, Jardine Mansion, Jardine Bazzar, No. 22 Yee Wo Street, Causeway Bay, Hong Kong  Tel: 36217395

Pernyataan Dukungan
Untuk Aksi Gerakan Rakyat Indonesia Anti Perampasan Tanah

S B Y:
Rejim Fasis Perampas Tanah, Pembunuh dan Penjual Rakyat
Segera Ciptakan Lapangan Kerja Dengan Upah Layak,
Stop Perdagangan Tenaga Kerja Keluar Negeri
Cabut UUPPTKILN No. 39/2004!
Berikan Perlindungan Sejati Tanpa Eksploitasi!

Kami, Buruh Migran Indonesia di Hong Kong, yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Cabang Hong Kong hari ini menggelar aksi protes di depan Kantor Konsulat Republik Indonesia dari pukul 11:30 – 12:30 siang sebagai wujud dukungan dan solidaritas kami kepada perjuangan rakyat Indonesia, khususnya petani yang hari ini berbondong-bondong mengepung Istana dan pusat-pusat pemerintahan Indonesia untuk merebut kembali hak-hak mereka atas tanah yang selama ini dirampas oleh Tuan tanah dan pemerintah Indonesia.

Buruh Migran Indonesia (BMI) yang jumlahnya kini mencapai 8 juta, baik legal maupun ilegal, mayoritas bahkan hampir semua berasal dari pedesaan dan keluarga petani. Dari survey yang dilakukan Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (ATKI-HK), hingga kini 62% keluarga buruh migran masih tetap menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, selain uang kiriman dari luar negeri. Namun karena bertani tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga maka akhirnya satu atau dua diantara mereka terpaksa bermigrasi keluar negeri menjadi TKI utamanya di sektor informal seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT), buruh perkebunan, buruh konstruksi, buruh pabrik, pelayan restoran, pekerja seks, dan pekerjaan jenis lainnya yang dikategorikan sebagai 3D (Dirty/Kotor, Difficult/Sulit, Danger/Berbahaya).

Pedesaan yang seharusnya menjadi lumbung padi dan sumber pangan bagi kebutuhan seluruh rakyat, kini justru kosong melompong, dilanda kelaparan, kemiskinan akut, pengangguran melimpah ruah, dibiarkan terus terbelakang dan dibodohkan. Pedesaan kini dijadikan wadah perekrutan tenaga kerja keluar negeri dan dalam himpitan ekonomi yang begitu mencekik, rakyat pedesaan tidak punya pilihan kecuali keluar negeri sebagai buruh kontrakan agar bisa mempertahankan hidup.

Dari jaman Suharto hingga SBY, kaum tani di pedesaan terus menerus dijadikan sasaran politik pemerintah yang sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan penjajah asing (imperialis). Tanah rakyat yang tidak seberapa terus dirampasi dan dikuasai segelintir orang (tuan tanah). Tanah Indonesia yang seharusnya dinikmati bersama kini justru dimonopoli oleh tuan tanah besar dan pemerintah Indonesia sendiri digunakan untuk memenuhi pesanan imperialis yang rakus akan bahan alam murah.

Kini ditengah krisis global imperialis, perampasan tanah digencarkan dan tanah yang terampas digunakan sebagai perkebunan besar. Hutan lindung (Taman Nasional) dan tanah skala kecil  yang dikuasi oleh kaum tani menjadi sasaran utama perampasan tanah. Rakyat yang menolak harus berhadapan dengan moncong senjata dan tidak sedikit yang terbunuh karena mempertahankan tanahnya sendiri. AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) mencatat 4000 konflik agraria yang belum terselesaikan di tahun 2011.

Kehidupan kaum tani semakin terhisap, buruh tani diupah murah, hasil pertanian dihisap oleh tengkulak dan terjerat riba demi mencari modal bertani menjadi fenomena umum di pedesaan. Para petani yang keluarganya diluar negeri akhirnya harus bergantung pula pada uang kiriman untuk bertahan hidup dan mengolah tanahnya. Tanpa mereka pahami bahwa sebenarnya diluar negeri sendiripun, keluarga mereka berjuang menjadi buruh murah, tidak diberikan libur, dianiaya, didiskriminasikan, direndahkan dan harus mengalami perlakuan tidak manusiawi demi menghidupi keluarganya.

Ketika krisis global berdampak pada kenaikan harga bahan-bahan pokok dan bahan bakar minyak, dengan mudah SBY-Boediono mengeluarkan solusi menangkis krisis dengan mengembangkan 3 bidang; 1. Bidang Pariwisata, 2. Bidang Kerajinan Tangan, 3. Bidang Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia.” Dalam usaha pengiriman tenaga kerja Indonesia, SBY-Boediono mentargetkan pengiriman sebesar 1-2 juta per tahun dengan hasil keuntungan sebesar Rp. 125 triliun per tahun. Targetan ini dilaksanakan melalui kebijakan revisi Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri No. 39 /2004 (UUPPTKILN) yang  dianggap belum mampu memenuhi keinginan pemerintah. Revisi terus dijalankan tapi tidak pernah meyakinkan perlindungan sejati bagi buruh migran dan keluarganya.

Kini dengan gencarnya perampasan tanah dan kekerasan (intimidasi, penangkapan, pemenjaraan dan penembakan) terhadap kaum tani dan rakyat Indonesia dibawah rejim SBY-Budiono, maka bisa dipastikan rakyat tidak bertanah semakin banyak, kemiskinan semakin akut, kelaparan dimana-mana dan krisis kronis pasti melanda kita semua. Mimpi buruh migran untuk bisa segera pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga kini hanya tinggal harapan.  Maka dengan ini, Buruh Migran Indonesia diluar negeri tidak punya pilihan kecuali meneruskan perjuangannya diluar negeri mempertahankan upah dan hak-hak lainnya yang senantiasa dirongrong oleh pemerintah penerima (termasuk Hong Kong) dan pemerintah Indonesia melalui perwakilanya di luar negeri yaitu KJRI – HK dan bergabung dengan perjuangan rakyat Indonesia untuk menuntut hak rakyat atas tanah, upah dan kerja.

Hong  Kong, 12 Januari 2011

Referensi:
Eni Lestari, koordinator FPR-HK (96081485)
Ganika Diristiani, Ketua ATKI-HK (97124641) Sringatin, Koordiantor LiPMI (69920878) 

Anggota FPR-HK: Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK), Indonesian Migrant Worker’s Union (IMWU), Liga Perjuangan Migran Indonesia (LiPMI), Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR)

Rabu, 11 Januari 2012

Buruh Migran Bersuara! SBY-Boediono Rezim Fasis Penjual rakyat!


Buruh Migran Indonesia Bersatu Dengan Gerakan Rakyat  Anti Terhadap Perampasan Tanah



Situasi politik dunia sekarang ini semakin memanas seiring badai krisis ekonomi dunia yang akan berlangsung lama karena bangkrutnya sistem kapitalisme dalam skala dunia. Krisis ekonomi dan keuangan yang memukul pusat kekuatan imperialis seperti di Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah membawa malapetaka besar bagi rakyat di negeri-negeri imperialis dan rakyat di negeri-negeri dibawah dominasinya. Gerakan rakyat yang bangkit di berbagai negeri menandakan masa senjakala dari sistem kapitalisme yang sekarat dan semakin barbar. Berbagai bentuk perlawanan rakyat yang semakin besar dan massif mewarnai hari-hari dalam pusaran badai krisis yang semakin dalam; secara langsung telah menyerang sistem kapitalisme dalam skala dunia yang tidak lagi menjadi solusi bagi rakyat dunia namun justru malapetaka. Tak terkecuali bagi rakyat Indonesia.

Indonesia adalah negeri bergantung. Mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan kapitalis monopoli asing dan bukan untuk rakyat Indonesia. Dominasi kapital asing telah meliputi seluruh sektor kehidupan ekonomi nasional tanpa kecuali. Hancurnya ekonomi nasional karena dominasi kapital monopoli asing (imperialisme) ini tidak bisa dipisahkan dari kedudukan dan peranannya dalam mengontrol negara Republik Indonesia dan pemerintah yang sedang berkuasa di bawah rezim boneka SBY-Budiono. Politik nasional Indonesia yang terjajah dan menjadi pemerintah boneka imperialis pimpinan AS, telah menjadikan pemerintah SBY-Budiono sebagai pintu gerbang bagi penindasan dan penghisapan rakyat Indonesia yang semakin brutal yang dilakukan oleh negeri-negeri imperialis agar bisa keluar dari badai krisis yang tengah menyerang negeri-negeri mereka. 

Pada perkembangan situasi nasional sekarang, masalah politik nasional semakin memanas oleh berbagai isu sosial-ekonomi maupun politik karena tindakan-tindakan perlawanan kolektif massa rakyat yang luas dan ditindas dengan cara-cara fasis yang kejam oleh tentara dan polisi di bawah pemerintah SBY. Belum lama berselang, suku bangsa minoritas di Papua telah mendapatkan tindasan yang kejam dari Polri/TNI, selain gerakan buruh di PT Freeport, yang ditembak mati oleh aparatus tentara-polisi.

Masih segar dalam ingatan kolektif massa rakyat Indonesia, bagaimana PT Freeport juga  menyatakan bahwa perusahaan imperialis dari AS ini telah memberikan dana sebanyak 14 juta USD kepada Polri/TNI di Papua untuk biaya pengamanan areal tambang yang semakin menjelaskan Polri/TNI sebagai aparatus imperialis secara langsung. Situasi ini sangat nyata dan terang menjelaskan perwujudan watak korup dan fasis yang dilakukan oleh pemerintah SBY sebagai boneka yang melayani kepentingan imperialis yang panik di tengah krisis. Di tengah situasi seperti inilah gerakan rakyat anti perampasan tanah telah menemukan dasar obyektifnya untuk memperbesar dan memperkuat gerakan rakyat.

 SBY-Boediono Rezim Fasis Penjual Rakyat
Watak Fasisme SBY-Boediono ditunjukan dengan  "menghalalkan segala cara" untuk menindas dan menghisap rakyatnya demi kepentingannya dan tuan Imperialisme nya.

Buruh Migran Indonesia bagian dari rakyat Indonesia yang hari ini terpaksa bermigrasi ke Luar Negeri demi mencari penghidupan yang layak. Namun, situasi objektif hari ini tidak dilihat oleh rezim SBY-Boediono sebagai situasi yang memprihatinkan bagi Indonesia. Sebaliknya SBY-Boediono melihat bahwa banyaknya rakyat yang bermigrasi ke Luar Negeri mencari pekerjaan yang layak ada peluang bisnis besar untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari proses migrasi terpaksa ini.

Hari ini ada 8 [delapan] juta orang yang terpaksa bermigrasi baik itu yang tercatat di Pemerintahan ataupun tidak, dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun per tahun.  Hal ini belum memenuhi capaian angka yang ditargetkan Pemerintahan SBY-Boediono atas keberhasilan pengiriman dan jumlah angka remitansi yang diinginkan.

Pada tahun 2009, setelah Indonesia dihantam krisis yang berdampak pada menaikannya harga bahan-bahan pokok dan harga bahan bakar minyak. Dengan mudah SBY-Boediono mengeluarkan solusi bagi Indonesia dalam menangkis krisis  ”yaitu ada 3 bidang yang perlu dikembangkan oleh Indonesia dalam usaha untuk bisa lepas dari krisis dan menopang perekonomian Indonesia; 1. Bidang Pariwisata, 2. Bidang Kerajinan Tangan, 3. Bidang Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia.”

Dalam usaha pengiriman tenaga kerja Indonesia, SBY-Boediono mentargetkan pengiriman sebesar 1-2 juta per tahun dengan hasil keuntungan sebesar Rp. 125 triliun per tahun. Targetan ini dilaksanakan melalui kebijakan revisi Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri No.39 tahun 2004 yang  dirasa belum mampu memenuhi terget angka yang disesuaikan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Untuk segera mengimplementasikan kebijakan percepatan ekspor tenaga kerja murah maka agenda revisi atau perbaikan UUPPTKILN No.39 tahun 2004 pun dimasukan dalam agenda Prolegnas 2010. Apakah Perlindungan Sejati menjadi agenda penting dalam pembahasan revisi undang-undang ini ?? Tentu Tidak!!

Dari situasi objektif hari ini jelas, bahwa agenda revisi UUPPTKILN No.39 tahun 2004 hanya diorientasikan untuk keuntungan Pemerintah Indonesia semata, bukan diperuntukan untuk kepentingan perlindungan sejati buruh migran Indonesia dan Keluarganya.

Pengiriman tenaga kerja Indonesia menjadi hal yang menarik bagi rezim SBY-Boediono untuk mengembangkan skema politik upah murah dan lepas tanggung jawab atas pengangguran yang semakin hari semakin meningkat karena kegagalan rezim SBY dalam menciptakan lapangan pekerjaan di tanah air.

Hal ini ditegaskan melalui ke-engga-an rezim SBY-Boediono dalam mengesahkan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang sudah dijadikan standar International dalam mengakui persoalan-persoalan yang dihadapi buruh migran diberbagai belahan dunia.

Dampak dari UUUPPTKILN No.39 tahun 2004 yang tidak berorientasi Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran Indonesia telah menempatkan BMI pada posisi rentan dari awal proses pemberangkatan, penempatan di negara tujuan hingga pemulangan.

Dalam usahanya untuk lepas dari tanggung jawab dari melindungi BMI hari ini SBY-Boediono pun mencoba untuk meminimalkan penempatan tenaga kerja Indonesia dalam sektor Pekerja Rumah Tangga. Serta memberlakukannya kebijakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi BMI yang hakekatnya adalah legitimasi terhadap perbudakan hutang (debt bondage) yang selama ini dihadapi BMI dan Keluarganya.

Kebijakan-kebijakan dan solusi yang dibuat oleh rezim fasis SBY-Boediono hanya sebagai legitimasi perlindungan palsu terhadap kekerasan-kekerasan, perbudakan hutang bahkan sampai kematian karena hukuman pancung hingga kematian-kematian misterius yang di hadapi BMI.

Situasi konkrit ini tentunya menambah keyakinan kami Buruh Migran Indonesia untuk terus melakukan perlawanan-perlawanan terhadap segala kebijakan atau undang-undang yang dikeluarkan oleh rezim SBY-Boediono dan bersatu dengan gerakan rakyat tertindas lainnya di tanah air.

Menuntut rezim fasis SBY-Boediono untuk!
  1. Mencabut UUPPTKILN No.39 tahun 2004 dan Segera membuat undang-undang Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya!
  2. Segara Meratifikasi atau mengesahkan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak  Buruh Migran dan Keluarganya!
  3. Bubarkan Terminal Khusus TKI!!
  4. Hapuskan Biaya Penempatan yang terlalu Tinggi bagi BMI/ Stop Overcharging!!
  5. Industrialisai Nasional dan Ciptakan Lapangan Pekerjaan di  Dalam Negeri!
  6. Laksanakan Reforma Agraria Sejati !


Hidup Buruh Migran Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!



12 Januari 2012
Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Indonesia
(ATKI-Indonesia)