Jakarta, Kompas - Perlindungan pekerja migran masih memprihatinkan. Kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap pekerja migran dalam berbagai bentuk masih terus terjadi. Karena itu, Komisi Nasional Perempuan terus mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya.
”Pemerintah belum bisa meretas siklus kekerasan pada pekerja migran. Karena itu, kami menekankan harus ada standar perlindungan bagi mereka,” kata Ketua Gugus Kerja Pekerja Migran Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Wiyanti Eddyono di Jakarta, Rabu (17/12), menyambut Hari Pekerja Migran, 18 Desember 2008.
Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Kamis (18/12) ini, akan melancarkan demo jalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara.
Komnas Perempuan mengapresiasi berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, tetapi upaya itu belum menunjukkan hasil efektif pada perlindungan pekerja migran, khususnya para korban.
Pada masa Presiden Megawati, UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sudah disahkan, berdekatan dengan disahkannya Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009—salah satu rencananya adalah ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya (1990). Pemerintah sekarang telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Menurut Azriana, Ketua Subkomisi Sistem Pemulihan Korban Komnas Perempuan, berbagai kajian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada belum menjawab persoalan perlindungan pekerja migran.
Mantan pekerja migran Retno Dewi, koordinator ATKI yang pernah bekerja di Singapura dan Hongkong, menuturkan pengalamannya betapa lemahnya posisi pekerja migran dan begitu mudahnya dipermainkan agen.
”Satu tahun di Singapura saya berganti majikan dua kali dan setiap kali ganti majikan gaji saya dipotong untuk agen 200 dollar Singapura selama enam bulan. Satu bulan bekerja saya hanya terima 30 dollar,” ungkap Retno.
Dede Elah, Ketua Solidaritas Buruh Migran Cianjur yang pernah bekerja di Arab Saudi, menceritakan bahwa ia pernah dipukul anak majikan sehingga ia melarikan diri ke Konsulat Jenderal RI. ”Bukannya dilindungi, tetapi saya malah dimarah-marahi orang di konsulat dan dikembalikan ke rumah majikan,” kata Dede Elah. (LOK)
Sumber Kompas
http://cetak.kompas.com/read/