Liputan6.com, Balikpapan: Meski Indonesia dari segi jumlah menjadi salah satu negara pengirim tenaga kerja migran terbesar di dunia, namun dari sisi devisa yang dihasilkan dari remitansi atau pengembalian uang yang dikirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih kalah jauh dengan negara-negara yang mengirimkan TKI skill dan terampil seperti Filipina, Vietnam maupun India.
Menurut Kepala Badan penempatan dan perlindungan TKI (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, rendahnya posisi Indonesia dalam penerimaan remitansi tenaga migran tersebut terkait dengan rendahnya posisi TKI dalam pasar kerja di negara asing yang sebagian besar masih menjadi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Menurut Jumhur, dari sisi jabatan sebenarnya ada 250 jabatan pekerjaan yang diisi TKI. Namun yang terbanyak tetap menjadi TKI PLRT, sehingga pendapatan yang bisa diraih TKI juga lebih rendah.
"Vietnam memang tidak mengirim tenaga kerja migram lebih besar dari kita, tapi mereka fokus mengisi posisi di sektor konstruksi dan otomotif," Katanya kepada wartawan di Balikpapan, Selasa (29/6). Sementara India yang menempati posisi pertama dalam masalah remitansi, pemerintahnya menempatan urusan tenaga migran sebagai masalah urgen dengan membentuk kementerian sendiri untuk menanganinya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi pada 2015, tenaga-tenaga kerja migran akan memberikan remitansi 500 miliar dolar AS.
Jumhur juga mengatakan, hampir 100 persen permasalahan tenaga kerja Indonesia di luar negeri bersumber dari pengiriman TKI sektor Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Selain devisa yang kecil dari TKI PLRT, masalah yang ditimbulkannya juga beragam mulai dari gaji tidak dibayar, pelecehan seksual hingga kekerasan fisik.
Data BNP2TKI mencatat penempatan TKI; 2006, 680.000 orang, 2007, 686.748 orang, 2008, 748.825 orang, dan 2009, 662.172 orang. Dilihat dari komposisinya, jumlah TKI Formal 36%, Informal 64 % (tahun 2008 ), 16% formal dan 84 % informal Informal (2009).
Dari data kepulangan TKI di Selapajang, katanya, tiap tahun ada sekitar 160 ribu dengan pendidikan minimal SD dan bekerja sebagai PLRT. Dari jumlah itu, 17 persen tidak tamat SD, 57 tamat SD, atau 85 persen pendidikan SD. (BNP2TKI/ARI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar