ATKI Jakarta: Cabut SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008!
[ATKI-Jakarta]. “SK Dirjen Binapenta No 186 tahun 2008 yang mengatur biaya penempatan BMI di Hongkong adalah keputusan yang Ilegal!” demikian tegas Koordinator Biro Informasi Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Jakarta, Retno P. Dewi.
Pernyataan ini disampaikan hari ini pada saat melakukan aksi bersama menuntut pencabutan SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008 di halaman Kantor Depnakertrans Jalan Gatot Subroto Jakarta dan akan dilanjutkan ke depan Kantor BNP2TKI, Jalan MT. Haryono, Cawang, Jakarta.
Dalam aksi tersebut, selain menuntut pencabutan SK, ATKI-Jakarta, Migrantcare, LBH Iwork, FMN, dan organ-organ lainnya juga menuntut penghentian deportasi dan legalisasi bagi seluruh BMI tidak berdokumen di Malaysia, pembubaran terminal IV, pencabutan UU No. 39 tentang PPTKILN, dan Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya.
SK Dirjen Binapenta, Ilegal!
“SK tersebut bertentangan dengan UU No. 39 tahun 2004 sekaligus Permenakertrans No tahun 2007 yang menyatakan bahwa instansi yang berwenang mengeluarkan kebijakan itu adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi!” lanjut Retno.
SK yang dimaksud adalah Surat Keputusan Direktorat Jenderal Binapenta No. 186 Tahun 2008 tentang komponen dan besarnya biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/ Jompo untuk tujuan Hongkong. Surat ini berisi jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon BMI/BMI yang hendak berangkat ke Hong Kong, sebesar Rp 15.550.000 plus USD 15.
Berdasarkan UU No 39 tahun 2004 tentang PPTKILN pasal 76 ayat (2) dan Permenakertrans No 18 tahun 2007, kewenangan penentuan biaya penempatan sesungguhnya berada di tangan menteri dan bukan dirjen. Sehingga, lahirnya kebijakan tentang biaya penempatan ini sungguh aneh karena tidak sesuai dengan aturan yang ada di atasnya.
Menurut Retno, adanya SK tersebut menunjukkan carut-marutnya penanganan perlindungan BMI oleh pemerintah RI. Sebagaimana diketahui publik, sebagian besar masalah BMI bermula dari ketidakbecusan pemerintah mengelola penempatan dan perlindungan BMI. Selama ini, BMI hanya dilihat sebagai barang-dagangan yang kerap diperlakukan tidak manusiawi. Kontribusi besar bagi pemasukkan Negara tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai dari Negara.
Terlebih ketika terjadi konflik terbuka antara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno dengan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Konflik diantara keduanya sudah diketahui secara umum dan menunjukkan sikap kekanak-kanakan diantara dua pejabat negara yang berada dibawah Presiden. Hingga saat ini, tidak ada mediasi dari Presiden untuk adanya penyelesaian yang komprehensif diantara kedua pejabat tersebut.
“Presiden SBY hanya mempedulikan besarnya pendapatan dari BMI tanpa mau peduli dengan nasib BMI,” tegas Retno.
‘Sapi Perah’
Retno juga menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2008 ini, kualitas perlindungan BMI masih belum ada perbaikan. Setoran BMI kepada pemerintah justru semakin besar. Catatan sementara mengenai jumlah pengiriman BMI ke Timur Tengah (sebesar 66 ribu BMI), Hongkong (17 ribu BMI), dan Malaysia (60 ribu), pemerintah telah memperoleh pemasukkan sebesar US$ 2.145.000 atau setara dengan Rp. 19.519.500.000 (19,5 miliar rupiah).
Dana ini dihitung dari ketentuan yang mewajibkan BMI membayar US$ 15 per orang. Jumlah ini akan semakin besar apabila kita juga memasukkan beberapa komponen pemasukkan, seperti dari pembuatan paspor, kartu TKI, dan biaya yang disetorkan BMI pada saat mengurus kepulangan di terminal pendataan kepulangan BMI (Terminal IV).
Berdasarkan catatan Migrantcare, sepanjang Januari hingga April tahun ini, setidaknya terdapat 86 BMI yang meninggal dunia di berbagai negara penempatan. “Data tersebut berasal dari laporan media massa, pengaduan keluarga, dan beberapa upaya pendataan lain yang kami lakukan selama ini,” jelas Nurharsono dari Migrantcare.
Sementara catatan dari LBH Iwork untuk kasus yang sama lebih besar, menurut Direktur LBH Iwork Yuni Asri, dari Januari sampai Agustus 2008 ini terdapat setidaknya 104 kasus BMI yang meninggal dunia. “Kami sudah berhasil memverifikasi 64 kasus kematian BMI. Dalam arti, data tentang ke-64 kasus kematian sudah relatif jelas. Sementara 38 kasus lainnya masih dalam taraf pelengkapan data,” jelas Yuni Asri dari LBH Iwork.
Selain itu, ratusan ribu BMI Malaysia, Korea Selatan, dan Hongkong terancam deportasi akibat lemahnya daya tawar pemerintah Indonesia selaku negara pengirim ke negara-negara penerima. Belum lagi korupsi dan buruknya pelayanan kantor-kantor perwakilan (kedubes maupun KJRI) di berbagai negara penerima menambah beban bagi buruh-buruh migrant Indonesia.
“Singkatnya, pemerintah pimpinan SBY-JK menganggap BMI sebagai ‘sapi-perahan’, namun kami menolak terus-terusan dijadikan sapi-perahan. Karena itu kami akan melawan dan terus memprotes kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang,” tegas Retno.
Salam Demokrasi
BalasHapusBuat Mbak Retno Dewi, Thanks kunjungannya ke Blog saya. SBY-JK memang Rezim anti kritik
Salam