Selasa, 08/03/2011 10:00 WIB
Jakarta, ATKI-Indonesia bersama Organisasi lintas sektoral yang terdiri dari Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Front Mahasiswa Nasional (FMN) yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat [FPR] melakukan Demonstrasi dalam memperingati se-abad Hari Perempuan Internasional.
Aksi long march ini dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia menuju kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jalan Merdeka Barat Jakarta, untuk melakukan aksi dan dialog, dilanjutkan menuju ke Istana.
Divisi Kammas dan Advokasi ATKI-Indonesia, Ivo Ahmad menyampaikan dalam pidato politiknya
“ Moment penting ini jangan sampai berlalu begitu saja, berbagai persoalan yang terjadi atas buruh migran Indonesia dan keluarganya tidak lepas dari tindak diskriminasi dan tanpa perlindungan ini adalah imbas dari sistem kapitalis, feodal, dan perilaku pemerintah yang terus melanggengkan perampasan hak-hak BMI dari tahun ketahun.
Jumlah Buruh Migran perempuan terlihat meningkat dari tahun 1980 melebihi jumlah Buruh Migran laki-laki, dan jumlah tersebut mulai melonjak tajam disaat krisis tahun 1997 terjadi di Indonesia hingga sekarang, dimana laki-laki kehilangan mata pencaharian, dimana lahan pertanian berubah menjadi pabrik, tidak adanya lapangan pekerjaan, memaksa kaum perempuan bekerja ke luar negeri, ikut andil dalam mencari sumber penghidupan untuk sekedar bertahan hidup keluarganya dan menggerakkan roda perekonomian di rumah”. Ujarnya.
Deputi Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [Menneg PP dan PA], Niken Kiswandari mengakui “perlindungan terhadap Buruh Migran tidaklah berjalan efektif, pasal-pasal penempatan lebih banyak dibandingan dengan pasal yang bersifat melindungi BMI, begitu banyak pasal dari UUPPTKILN no 39 saling tumpang tindih, tidak realistis” ujarnya dalam dialog.
Ketika disinggung mengenai jumlah BMI yang mayoritas perempuan dan ketimpangan dalam UUPPTKILN dimana hanya ada satu pasal dari 109 pasal didalam UU tersebut yang menyinggung perempuan, perampasan upah,diskriminasi, kekerasan dan intimidasi yang dilakukan baik oleh negara, calo, PJTKI, agensi maupun majikan di negara penempatan terhadap BMI dan keluarganya, serta diskriminasi yang tejadi di terminal kepulangan-Selapanjang.
“ Kami, pemerintahan sedang revisi UU 39, dan semoga akan lebih baik dari isi UU sebelumnya” ujar Niken Kisrandari dalam dialognya.
Niken juga menambahkan “ kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan berbagai diskusi dan dialog dengan berbagai instansi pemerintah lainnya, seperti Kemenlu, Kemenakertrans, Kemenhukham dan lain-lain mengenai BMI, juga sedang mengusahakan penempatan staff Pemberdayaan Perempuan di setiap perwakilan Pemerintah Indonesia untuk bisa lebih dekat dan memantau kondisi dari BMI di Luar Negeri”.
Selain membawa permasalahan BMI, dialog ini juga mengusung permasalahan yang terjadi di sektor buruh di pabrik, dan mahasiswa. Pertemuan ini berahir setelah sejam berlangsung dan orasi-orasi dilakukan di halaman depan kantor Menneg PP dan PA sepanjang acara dialog.
Long march dilanjutkan menuju depan Istana Negara, aksi massa dari FPR disambut oleh Koalisi Pembebasan Perempuan yang sudah ada terlebih dahulu di Depan Istana, hujan tidak menjadikan halangan untuk tiap perwakilan organisasi untuk berorasi.
Aksi puncak peringatan Hari Perempuan Internasional ini dilakukan dengan bersama-sama membacakan pernyataan sikap, menuntuk pemerintah untuk memberikan perlindungan sejati, meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan hak-hak BMI beserta keluarganya.
Menuntut pemerintah untuk menjamin kaum perempuan terbebas dari diskriminasi, kekerasan, dan juga ada jaminan pendidikan dan kesehatan.
Pukul 15:30 aksi massa di ahiri serentak dan massa membubarkan diri dengan tertib. [vo]
Jakarta, ATKI-Indonesia bersama Organisasi lintas sektoral yang terdiri dari Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Front Mahasiswa Nasional (FMN) yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat [FPR] melakukan Demonstrasi dalam memperingati se-abad Hari Perempuan Internasional.
Aksi long march ini dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia menuju kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jalan Merdeka Barat Jakarta, untuk melakukan aksi dan dialog, dilanjutkan menuju ke Istana.
Divisi Kammas dan Advokasi ATKI-Indonesia, Ivo Ahmad menyampaikan dalam pidato politiknya
“ Moment penting ini jangan sampai berlalu begitu saja, berbagai persoalan yang terjadi atas buruh migran Indonesia dan keluarganya tidak lepas dari tindak diskriminasi dan tanpa perlindungan ini adalah imbas dari sistem kapitalis, feodal, dan perilaku pemerintah yang terus melanggengkan perampasan hak-hak BMI dari tahun ketahun.
Jumlah Buruh Migran perempuan terlihat meningkat dari tahun 1980 melebihi jumlah Buruh Migran laki-laki, dan jumlah tersebut mulai melonjak tajam disaat krisis tahun 1997 terjadi di Indonesia hingga sekarang, dimana laki-laki kehilangan mata pencaharian, dimana lahan pertanian berubah menjadi pabrik, tidak adanya lapangan pekerjaan, memaksa kaum perempuan bekerja ke luar negeri, ikut andil dalam mencari sumber penghidupan untuk sekedar bertahan hidup keluarganya dan menggerakkan roda perekonomian di rumah”. Ujarnya.
Deputi Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [Menneg PP dan PA], Niken Kiswandari mengakui “perlindungan terhadap Buruh Migran tidaklah berjalan efektif, pasal-pasal penempatan lebih banyak dibandingan dengan pasal yang bersifat melindungi BMI, begitu banyak pasal dari UUPPTKILN no 39 saling tumpang tindih, tidak realistis” ujarnya dalam dialog.
Ketika disinggung mengenai jumlah BMI yang mayoritas perempuan dan ketimpangan dalam UUPPTKILN dimana hanya ada satu pasal dari 109 pasal didalam UU tersebut yang menyinggung perempuan, perampasan upah,diskriminasi, kekerasan dan intimidasi yang dilakukan baik oleh negara, calo, PJTKI, agensi maupun majikan di negara penempatan terhadap BMI dan keluarganya, serta diskriminasi yang tejadi di terminal kepulangan-Selapanjang.
“ Kami, pemerintahan sedang revisi UU 39, dan semoga akan lebih baik dari isi UU sebelumnya” ujar Niken Kisrandari dalam dialognya.
Niken juga menambahkan “ kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan berbagai diskusi dan dialog dengan berbagai instansi pemerintah lainnya, seperti Kemenlu, Kemenakertrans, Kemenhukham dan lain-lain mengenai BMI, juga sedang mengusahakan penempatan staff Pemberdayaan Perempuan di setiap perwakilan Pemerintah Indonesia untuk bisa lebih dekat dan memantau kondisi dari BMI di Luar Negeri”.
Selain membawa permasalahan BMI, dialog ini juga mengusung permasalahan yang terjadi di sektor buruh di pabrik, dan mahasiswa. Pertemuan ini berahir setelah sejam berlangsung dan orasi-orasi dilakukan di halaman depan kantor Menneg PP dan PA sepanjang acara dialog.
Long march dilanjutkan menuju depan Istana Negara, aksi massa dari FPR disambut oleh Koalisi Pembebasan Perempuan yang sudah ada terlebih dahulu di Depan Istana, hujan tidak menjadikan halangan untuk tiap perwakilan organisasi untuk berorasi.
Aksi puncak peringatan Hari Perempuan Internasional ini dilakukan dengan bersama-sama membacakan pernyataan sikap, menuntuk pemerintah untuk memberikan perlindungan sejati, meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan hak-hak BMI beserta keluarganya.
Menuntut pemerintah untuk menjamin kaum perempuan terbebas dari diskriminasi, kekerasan, dan juga ada jaminan pendidikan dan kesehatan.
Pukul 15:30 aksi massa di ahiri serentak dan massa membubarkan diri dengan tertib. [vo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar