Buruh Migran Indonesia Bersatu Dengan Gerakan Rakyat Anti Terhadap Perampasan Tanah
Situasi politik dunia sekarang ini semakin memanas seiring badai krisis ekonomi dunia yang akan berlangsung lama karena bangkrutnya sistem kapitalisme dalam skala dunia. Krisis ekonomi dan keuangan yang memukul pusat kekuatan imperialis seperti di Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah membawa malapetaka besar bagi rakyat di negeri-negeri imperialis dan rakyat di negeri-negeri dibawah dominasinya. Gerakan rakyat yang bangkit di berbagai negeri menandakan masa senjakala dari sistem kapitalisme yang sekarat dan semakin barbar. Berbagai bentuk perlawanan rakyat yang semakin besar dan massif mewarnai hari-hari dalam pusaran badai krisis yang semakin dalam; secara langsung telah menyerang sistem kapitalisme dalam skala dunia yang tidak lagi menjadi solusi bagi rakyat dunia namun justru malapetaka. Tak terkecuali bagi rakyat Indonesia.
Indonesia adalah negeri bergantung. Mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan kapitalis monopoli asing dan bukan untuk rakyat Indonesia. Dominasi kapital asing telah meliputi seluruh sektor kehidupan ekonomi nasional tanpa kecuali. Hancurnya ekonomi nasional karena dominasi kapital monopoli asing (imperialisme) ini tidak bisa dipisahkan dari kedudukan dan peranannya dalam mengontrol negara Republik Indonesia dan pemerintah yang sedang berkuasa di bawah rezim boneka SBY-Budiono. Politik nasional Indonesia yang terjajah dan menjadi pemerintah boneka imperialis pimpinan AS, telah menjadikan pemerintah SBY-Budiono sebagai pintu gerbang bagi penindasan dan penghisapan rakyat Indonesia yang semakin brutal yang dilakukan oleh negeri-negeri imperialis agar bisa keluar dari badai krisis yang tengah menyerang negeri-negeri mereka.
Pada perkembangan situasi nasional sekarang, masalah politik nasional semakin memanas oleh berbagai isu sosial-ekonomi maupun politik karena tindakan-tindakan perlawanan kolektif massa rakyat yang luas dan ditindas dengan cara-cara fasis yang kejam oleh tentara dan polisi di bawah pemerintah SBY. Belum lama berselang, suku bangsa minoritas di Papua telah mendapatkan tindasan yang kejam dari Polri/TNI, selain gerakan buruh di PT Freeport, yang ditembak mati oleh aparatus tentara-polisi.
Masih segar dalam ingatan kolektif massa rakyat Indonesia, bagaimana PT Freeport juga menyatakan bahwa perusahaan imperialis dari AS ini telah memberikan dana sebanyak 14 juta USD kepada Polri/TNI di Papua untuk biaya pengamanan areal tambang yang semakin menjelaskan Polri/TNI sebagai aparatus imperialis secara langsung. Situasi ini sangat nyata dan terang menjelaskan perwujudan watak korup dan fasis yang dilakukan oleh pemerintah SBY sebagai boneka yang melayani kepentingan imperialis yang panik di tengah krisis. Di tengah situasi seperti inilah gerakan rakyat anti perampasan tanah telah menemukan dasar obyektifnya untuk memperbesar dan memperkuat gerakan rakyat.
SBY-Boediono Rezim Fasis Penjual Rakyat
Watak Fasisme SBY-Boediono ditunjukan dengan "menghalalkan segala cara" untuk menindas dan menghisap rakyatnya demi kepentingannya dan tuan Imperialisme nya.
Buruh Migran Indonesia bagian dari rakyat Indonesia yang hari ini terpaksa bermigrasi ke Luar Negeri demi mencari penghidupan yang layak. Namun, situasi objektif hari ini tidak dilihat oleh rezim SBY-Boediono sebagai situasi yang memprihatinkan bagi Indonesia. Sebaliknya SBY-Boediono melihat bahwa banyaknya rakyat yang bermigrasi ke Luar Negeri mencari pekerjaan yang layak ada peluang bisnis besar untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari proses migrasi terpaksa ini.
Hari ini ada 8 [delapan] juta orang yang terpaksa bermigrasi baik itu yang tercatat di Pemerintahan ataupun tidak, dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun per tahun. Hal ini belum memenuhi capaian angka yang ditargetkan Pemerintahan SBY-Boediono atas keberhasilan pengiriman dan jumlah angka remitansi yang diinginkan.
Pada tahun 2009, setelah Indonesia dihantam krisis yang berdampak pada menaikannya harga bahan-bahan pokok dan harga bahan bakar minyak. Dengan mudah SBY-Boediono mengeluarkan solusi bagi Indonesia dalam menangkis krisis ”yaitu ada 3 bidang yang perlu dikembangkan oleh Indonesia dalam usaha untuk bisa lepas dari krisis dan menopang perekonomian Indonesia; 1. Bidang Pariwisata, 2. Bidang Kerajinan Tangan, 3. Bidang Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia.”
Dalam usaha pengiriman tenaga kerja Indonesia, SBY-Boediono mentargetkan pengiriman sebesar 1-2 juta per tahun dengan hasil keuntungan sebesar Rp. 125 triliun per tahun. Targetan ini dilaksanakan melalui kebijakan revisi Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri No.39 tahun 2004 yang dirasa belum mampu memenuhi terget angka yang disesuaikan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Untuk segera mengimplementasikan kebijakan percepatan ekspor tenaga kerja murah maka agenda revisi atau perbaikan UUPPTKILN No.39 tahun 2004 pun dimasukan dalam agenda Prolegnas 2010. Apakah Perlindungan Sejati menjadi agenda penting dalam pembahasan revisi undang-undang ini ?? Tentu Tidak!!
Dari situasi objektif hari ini jelas, bahwa agenda revisi UUPPTKILN No.39 tahun 2004 hanya diorientasikan untuk keuntungan Pemerintah Indonesia semata, bukan diperuntukan untuk kepentingan perlindungan sejati buruh migran Indonesia dan Keluarganya.
Pengiriman tenaga kerja Indonesia menjadi hal yang menarik bagi rezim SBY-Boediono untuk mengembangkan skema politik upah murah dan lepas tanggung jawab atas pengangguran yang semakin hari semakin meningkat karena kegagalan rezim SBY dalam menciptakan lapangan pekerjaan di tanah air.
Hal ini ditegaskan melalui ke-engga-an rezim SBY-Boediono dalam mengesahkan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang sudah dijadikan standar International dalam mengakui persoalan-persoalan yang dihadapi buruh migran diberbagai belahan dunia.
Dampak dari UUUPPTKILN No.39 tahun 2004 yang tidak berorientasi Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran Indonesia telah menempatkan BMI pada posisi rentan dari awal proses pemberangkatan, penempatan di negara tujuan hingga pemulangan.
Dalam usahanya untuk lepas dari tanggung jawab dari melindungi BMI hari ini SBY-Boediono pun mencoba untuk meminimalkan penempatan tenaga kerja Indonesia dalam sektor Pekerja Rumah Tangga. Serta memberlakukannya kebijakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi BMI yang hakekatnya adalah legitimasi terhadap perbudakan hutang (debt bondage) yang selama ini dihadapi BMI dan Keluarganya.
Kebijakan-kebijakan dan solusi yang dibuat oleh rezim fasis SBY-Boediono hanya sebagai legitimasi perlindungan palsu terhadap kekerasan-kekerasan, perbudakan hutang bahkan sampai kematian karena hukuman pancung hingga kematian-kematian misterius yang di hadapi BMI.
Situasi konkrit ini tentunya menambah keyakinan kami Buruh Migran Indonesia untuk terus melakukan perlawanan-perlawanan terhadap segala kebijakan atau undang-undang yang dikeluarkan oleh rezim SBY-Boediono dan bersatu dengan gerakan rakyat tertindas lainnya di tanah air.
Menuntut rezim fasis SBY-Boediono untuk!
- Mencabut UUPPTKILN No.39 tahun 2004 dan Segera membuat undang-undang Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya!
- Segara Meratifikasi atau mengesahkan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya!
- Bubarkan Terminal Khusus TKI!!
- Hapuskan Biaya Penempatan yang terlalu Tinggi bagi BMI/ Stop Overcharging!!
- Industrialisai Nasional dan Ciptakan Lapangan Pekerjaan di Dalam Negeri!
- Laksanakan Reforma Agraria Sejati !
Hidup Buruh Migran Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
12 Januari 2012
Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Indonesia
(ATKI-Indonesia)