Sabtu, 05 November 2011

Aliansi Tolak Hukuman Mati BMI

TRAGEDI HUKUMAN MATI BURUH MIGRAN INDONESIA

Marah, geram dan rasa tidak percaya menyeruak menyesakkan dada, nyawa seolah-olah tidak lagi ada harganya. Bukankah nyawa adalah hak dasar yang diberikan oleh-Nya dan melekat pada setiap diri manusia? Bukankah Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik juga memberikan perlindungan terhadap Hak untuk Hidup (right to life)? Sehebat itukah kuasa Saudi Arabia, sehingga berhak memenggal kepala seorang manusia dan mengakhiri kehidupannya didunia?

Proses hukuman mati pada awalnya didasarkan pada upaya untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan pidana. Dalam berbagai kasus, banyak residivis yang berulang kali melakukan kejahatan berat meskipun telah mendapatkan hukuman penjara yang lama. Memberikan hukuman mati dianggap sebagai salah satu jalan untuk memberi efek jera, agar kejadian serupa tidak terulang dimasa mendatang.

Namun alasan ini tidak seutuhnya benar. Berbagai studi secara ilmiah menunjukkan hukuman mati tidak mempunyai dampak yang signifikan dalam mengurangi kejahatan. Sebagai contoh nyata adalah kejahatan terorisme yang terjadi di Indonesia, meski beberapa pelaku sebelumnya telah dihukum mati namun upaya terror masih saja terjadi hingga sekarang. Begitupun hukuman mati atas kejahatan psikotropika, ternyata hukuman mati juga tidak menyurutkan praktek peredaran narkotika di Indonesia.  

Tidak satupun manusia terlahir didunia berkeinginan menjadi seorang pembunuh, pun demikian dengan Ruyati, kepergiannya bekerja ke Arab Saudi lebih karena usaha memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, sama sekali tidak ada keinginan untuk menjadi seorang pembunuh. Hal ini bisa dibuktikan, saat pertama kali bekerja di Saudi Arabia, Ruyati bertahan hingga 6 (enam) tahun, keberangkatan kedua 5 (lima) tahun, dan keberangkatan ketiga yang baru berjalan 1,4 tahun ini mengantarkan Ruyati untuk meninggalkan keluarganya di Indonesia untuk selama-lamanya.

Hukuman mati telah menjadi sebuah perdebatan lama dikalangan internasional. Sampai pada bulan Juni 2006, tinggal 68 negara didunia yang masih mempraktekkan hukuman mati, termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, secara de jure terdapat 96 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 8 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 50 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan masih tersisa 43 negara yang belum menghapuskan hukuman mati, dengan 18 negara masih mengimplementasikannya pada tahun 2009.

Atas kasus yang menimpa Ruyati binti Satubi pada Juni lalu, tentu saja kita merasa marah atas tindakan yang dilakukan pemerintah Arab Saudi, karena mereka tidak menghargai kerjasama yang terbangun harmonis diantara kedua negara selama ini. Pencabutan nyawa-nyawa buruh migran Indonesia yang dilakukan Pemerintahan Arab Saudi atas nama keadilan adalah tamparan keras bagi bangsa kita, pemerintah Arab Saudi telah benar-benar tidak menghargai kedaulatan Indonesia.

Betapa tidak, seluruh delegasi dari berbagai penjuru dunia memberikan standing ovation ketika SBY berpidato didepan sidang ILO ke-100 yang bicara tentang perlindungan terhadap hak-hak pekerja migrant, demikian pula pada 28 Mei 2011, pemerintah Indonesia dan Arab Saudi telah menandatangani sebuah nota awal menuju MoU untuk perbaikan perlindungan BMI. Dua moment tersebut dianggap tidak pernah ada bagi pemerintahan Arab Saudi, dan hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia pun tetap saja dilaksanakan.

Menyalahkan pemerintah Saudi Arabia semata tanpa mencoba melihat peran pemerintah Indonesia tentu saja tidak sepenuhnya tepat. Kelambanan pemerintah RI dalam merespon ancaman hukuman mati yang dihadapi oleh warga negaranya adalah salah satu factor sehingga nyawa ribuan buruh migran Indonesia tidak dapat diselamatkan. Saat ini, 303 orang warga negara Indonesia juga menghadapi ancaman hukuman mati, 233 orang di Malaysia, 29 orang di China dan 28 orang di Saudi Arabia. Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan cepat, tragedy serupa yang dialami Ruyati binti Satubi kemungkinan besar akan menimpa Tuti Tursilawati dan BMI lainnya.

Perbaikan system dan kebijakan yang mengatur tentang tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri mutlak dilaksanakan. Perbaikan tersebut harus menempatkan pengakuan dan perlindungan atas hak dan kepentingan buruh migrant Indonesia sebagai elemen yang fundamental dan tidak bisa ditawar lagi. Disamping itu, pemerintah Indonesia harus mengoptimalkan upaya-upaya diplomatic yang dimilikinya, mengupayakan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa warga negaranya. Tentu saja, kita tidak ingin lagi mendengar pemerintah “bertameng” dan menyerah ketika menghadapi rigiditas hukum negara lain.

Jalan lain yang dapat membantu meningkatkan diplomasi pemerintah Indonesia adalah dengan segera turut serta secara de jure menghapuskan hukuman mati. Tentu posisi Indonesia akan menjadi lemah untuk meminta pembatalan atas hukuman mati yang dihadapi oleh warga negara Indonesia ketika pemerintah kita sendiri masih menerapkan hukuman mati dalam system hukum nasional di Indonesia. Kita juga belum melihat adanya satu upaya dari pemerintah Indonesia untuk menggalang dukungan yang luas dari dunia internasional, meminta negara-negara lain serta organisasi internasional yang juga mengusung kampanye penolakan terhadap hukuman mati membantu menyelamatkan nyawa warga negara Indonesia.

Pada akhirnya, semua tentu sepakat dan berharap bahwa kasus yang menimpa Ruyati harus menjadi yang terakhir. Dimanapun warga negara Indonesia berada, apapun pekerjaan dia, menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan jaminan perlindungan yang maksimal bagi seluruh rakyatnya.


ATKI (Indonesia, Hongkong, Taiwan, Macau), SBMI, IMWU, GAMMI,LIPMI, PILAR, IFN dan organisasi lainnya yang mendukung Aliansi Tolak Hukuman Mati terhadap BMI   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar