Muhamad Lisin
Mantan BMI Korea Selatan
Korea Selatan adalah salah satu negara tujuan pengiriman buruh migran Indonesia. Selain gaji rata-rata yang terbilang tinggi, minat bekerja di Korea juga disebabkan karena negara tersebut menyediakan lapangan kerja yang cukup luas bagi pekerja pria (laki-laki).
Hal lain yang menggiurkan adalah jenis pekerjaan di Korea Selatan umumnya di sector industry manufaktur, tidak seperti pada umumnya negara penempatan yang cenderung lebih banyak menerima tenaga kerja di sektor rumah tangga. Hanya dengan bekal ijazah setingkat SMP dan usia di antara 18-40 tahun, siapa pun bisa mengajukan permohonan untuk bekerja di Korea.
Pada saat ini, masalah penempatan BMI di Korea Selatan telah diatur dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia yang diwakili BNP2TKI dan Pemerintah Korea Selatan.
Permasalahan
Terdapat beberapa permasalahan umum yang kerap diderita BMI Korea. Pertama, masalah keterampilan berbahasa Korea. Untuk bekerja di Korea, setiap calon buruh migrant diharuskan mengikuti tes kemampuan berbahasa Korea, atau biasa disebut KLPT. Tes ini dilaksanakan dua kali dalam setiap tahun. Tes ini merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi sebelum calon buruh migrant mengajukan permohonan bekerja di Korea.
Tercatat, per Desember 2007, 23 ribu orang mendaftarkan diri untuk mengikuti tes kemampuan berbahasa Korea (KLPT). Sebelumnya, tes KLPT pada Bulan Maret 2007 juga diikuti oleh peserta yang tidak kalah besar jumlahnya. Tes ini hampir serupa dengan Toefl yang mengacu pada standar tes yang disusun oleh Pemerintah Korea Selatan. Tes tersebut terdiri dari dua aspek penilaian, yakni mendengar dan menulis dalam Bahasa Korea. Standar nilai kelulusannya adalah 120. Biaya yang diperlukan untuk tes ini sebesar Rp 285 ribu.
Untuk mengikuti tes, biasanya calon BMI mengikuti pelatihan keterampilan berbahasa Korea. Pelatihan ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Bahasa Korea yang umumnya didirikan oleh unsur-unsur dari PJTKI. Biaya kursus yang harus dikeluarkan sebesar Rp 4 juta untuk satu bulan pelatihan secara intensif. Namun, banyak calon BMI yang tidak lulus, meski sudah mengikuti pelatihan.
Untuk memudahkan kelulusan, kadang calon BMI menggunakan jasa dari para “jokie”. Hal ini mirip dengan kasus yang dulu kerap ditemukan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri. Biaya yang harus dikeluarkan bergantung pada hasil negosiasi antara calon BMI dengan jokie-jokie tersebut. Standar minimum biayanya adalah Rp 1 juta atau lebih.
Kedua, masalah tingginya biaya penempatan. Sebelum adanya MoU “G to G” antara Indonesia dengan Korea, penempatan BMI di Korea dilakukan oleh PJTKI. Biaya yang dikenakan kepada setiap BMI yang hendak bekerja di negeri tersebut berkisar antara Rp 35-40 juta dan harus dibayar dimuka. Uang sebesar itu diperuntukkan untuk beberapa hal seperti tiket pesawat, pengurusan dokumen paspor, visa kerja, dan uang jaminan yang dulu besarnya sekitar Rp 10 juta. Uang jaminan adalah dana kolateral yang bisa hangus apabila seorang BMI kabur atau tidak menyelesaikan kontrak.
Selain itu, terdapat pula biaya tambahan melalui sistem potongan gaji selama enam bulan. Berdasarkan pengalaman penulis ketika bekerja di Korea pada tahun 2002, upah bulanan yang diterima sekitar 420 won. Upah yang diterima itu dipotong hampir separuh untuk management fee, asuransi, dan potongan biaya pemberangkatan. Kecuali lembur, umumnya BMI yang bekerja di Korea hampir tidak mendapatkan pendapatan sama sekali dari upah yang diterimanya.
Pasca MoU “G to G”, biaya penempatan BMI secara resmi adalah Rp 5,5 juta. Biaya ini disetorkan ke BNP2TKI setelah seorang BMI mendapatkan surat kontrak kerja. Biaya ini belum termasuk biaya pengurusan lain, seperti dokumen paspor dan lain-lain. Dalam praktiknya, meski sudah dikurangi, calon BMI yang hendak berangkat ke Korea Selatan umumnya telah menghabiskan dana sebesar Rp 15-25 juta untuk berbagai keperluan.
Selain itu, terkadang meski telah mendapatkan surat kontrak kerja, seorang BMI tidak bisa bekerja ke Korea karena surat tersebut diberikan atau diperjual-belikan ke orang lain. Hal ini masih kerap terjadi meski pengumuman tersebut tertera dalam situs resmi BNP2TKI. Hal ini biasanya disebabkan karena tidak semua calon BMI ke Korea memiliki akses terhadap sarana internet.
Masalah ketiga, adalah pelatihan kerja. Umumnya calon BMI yang hendak bekerja di Korea akan mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh balai-balai latihan kerja. Selain keterampilan bahasa, dalam materi-materi pelatihan yang diberikan juga terdapat materi pelatihan disiplin ala militer seperti materi fisik, mental, disiplin (FMD), pelatihan baris-berbaris (PBB), lari, dan pelatihan-pelatihan fisik lainnya.
Disiplin ala militer juga dikenakan bila seorang calon BMI melakukan suatu kesalahan. Situasi ini menyebabkan suasana BLK menjadi tegang dan tidak nyaman. Banyak calon BMI yang mengundurkan diri, kabur, bahkan depresi pasca mengikuti pelatihan tersebut. Selain itu, untuk menghindari sanksi yang berat, terkadang calon BMI terpaksa menyuap instruktur agar dibebaskan dari sanksi.
Hampir tidak ada pelatihan yang terkait dengan keterampilan teknis untuk bekerja di Korea. Demikian pula ketika di Korea, pelatihan teknis untuk mengoperasionalkan mesin-mesin tidak dilakukan. Setiap calon BMI yang baru datang ke Korea diberi kesempatan istirahat selama sehari dan esoknya harus sudah masuk kerja di pabrik. Untuk mengatasi kendala bahasa supervisor-supervisor Korea dan para BMI kadang berkomunikasi dengan bahasa “tarzan” alias bahasa isyarat yang belum tentu benar.
Tidak adanya pembekalan kerja yang relevan menyebabkan kerap terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi antara para supervisor Korea dengan BMI. Bila hal itu terjadi, para supervisor Korea kerap menghardik dan melontarkan kata-kata kasar kepada para BMI. Bila mau “selamat”, para BMI dituntut untuk segera menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan kerja di Korea. “Sekia”, “Sipaloma”, “Pabuya” atau “goblok” adalah kata-kata yang sering kita terima di korea. Kata-kata itu adalah kata-kata jorok yang di gunakan oleh orang korea apabila dia marah.
Para BMI di Korea sebenarnya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam serikat pekerja. Akan tetapi, mengingat statusnya bukan sebagai “buruh merdeka” sebagaimana buruh-buruh industri di Korea, akibat terikat pada kontrak kerja dengan PJTKI dan agen penempatan BMI di Korea, kebebasan para BMI untuk menentukan sikap dalam serikat-serikat buruh, khususnya dalam hal pembelaan dan penanganan kasus, masih kerap menghadapi kendala.
Selain serikat pekerja, para BMI juga kerap menghimpun diri dalam organisasi-organisasi lain, seperti organisasi keagamaan, klub-klub sepakbola, dan lain-lain. Pertemuan antar BMI juga kerap dilaksanakan pada momentum-momentum tertentu, seperti momentum “agustusan” dan lain-lain. Organisasi-organisasi atau perkumpulan inilah yang kerap dimanfaatkan BMI untuk saling bersilaturahmi dan mengatasi kerinduan pada tanah air.
Terakhir, tekanan kerja yang sangat tinggi menyebabkan tidak sedikit BMI yang mengalami depresi atau bahkan memilih kabur dari tempat kerja Korea. Perbedaan budaya, khususnya bahasa juga menyebabkan BMI kerap terisolasi hanya tinggal di tempat-tempat atau mess yang disediakan pabrik.
Meski demikian, sebenarnya tidak ada pembatasan ruang gerak BMI. Para BMI bebas berjalan-jalan ke mana pun bila sedang libur atau tidak ada pekerjaan. Hal ini kadang dimanfaatkan oleh sebagian BMI untuk menghambur-hamburkan uang untuk karaoke, norebang, berjudi. Tindakan-tindakan tersebut dipahami sebagai kompensasi atas tekanan kerja yang cukup berat.
Aroma kebebasan yang lebih luas di Korea, kerap menggoda para BMI untuk ikut dalam arus kebebasan yang terkadang justru “kebablasan”. Akibatnya, pendapatan yang diperoleh justru tidak sebanding dengan beban dan pengeluaran yang sudah dihabiskan.
Sebagian BMI yang memilih kabur suatu tempat kerja, kadang masih dapat bekerja kembali di tempat-tempat kerja yang cenderung mempekerjakan BMI secara illegal. Sebagian lagi tinggal di shelter (penampungan-penampungan) yang didirikan para misionaris yang mengurusi berbagai keperluannya, termasuk pemulangan ke Indonesia.
Penutup
Dibalik gaji yang tinggi dan kesempatan kerja yang luas di Korea Selatan, para BMI yang bekerja di sana sebenarnya mengalami permasalahan yang hampir sama dengan BMI-BMI lain di Indonesia. Selain tidak mendapatkan pembekalan pelatihan yang profesional, para BMI Korea juga mengalami masalah akibat tingginya beban biaya penempatan, dan rendahnya jaminan perlindungan.
1. Rekomendasi ke Pemerintah.Kepada pemerintah diharapkan akses informasi yang baik dan jelas dapat di akses oleh calon BMI sampai ke daerah asal. Memberi pengawasan dan tindakan terhadap oknum pemerintah yang sering mengambil keuntunagan terhadap calon BMI diantaranya biaya dokumen yang tinggi tidak sesuai aturan, menjual belikan Visa Kerja. Akses kridit yang lunak kepada calon BMI. Kepastian perlindungan hokum yang jelas terhadap BMI maupun calon BMI dan keluarga. Memberantas calo-calo yang memeras calon BMI.
2. Rekomendasi ke calon BMI Kepada para calon BMI diharapkan waspada terhadap siapapun yang meminta uang dengan memberikan janji untuk dapat segera bisa memberangkatkan calon BMI ke Negeri tujuan BMI. Uruslah segala dokumen sendiri tanpa melalui calo. Apabila terjadi proses-proses yang ada unsure pemerasan segera laporkan kepada penegak hukum. Sering berkomunikasi dengan orang-orang atau lembaga yang perduli terhadap nasib BMI.
3. Rekomendasi ke BMI dengan kondisi ditanah air yang multi krisis ini dengan adanya temen BMI diberbagai Negara sedikit banyak telah member angin segar terhadap Negara dan terutama Keluarga untuk itu gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan perencanaan kedepan yang baik dan jelas sehingga akan mendapatkan kesuksesan. Dan di negeri orang bukanlah tujuan akir hidup kita, di desa di negeri kita telah menunggu sentuhan tangan anda untuk menjadi desa yang indah yang berdaya, mandiri.